Wednesday, November 17, 2010

Pembagian Daging Qurban --> Potret Kemiskinan atau Kerakusan?

Dalam Islam, Hari Raya Qurban adalah sebuah hari penting, selayaknya seperti Hari Raya Idul Fitri. Menyembelih hewan qurban bagi yang orang yang mampu secara finansial untuk kemudian dibagikan kepada orang yang tak mampu. Hal ini bertujuan untuk berbagi rejeki yang selama ini telah didapat dari Allah SWT. Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan setelah shalat ied berjamaah. Setelah disembelih, para warga miskin berhak mengambil jatah dagingnya dengan syarat menunjukkan kupon yang diterima pada hari-hari sebelumnya (peraturan semacam ini terdapat di sebagian besar daerah di Indonesia).

Pada perayaan semacam ini, stasiun televisi berlomba untuk menyiarkan berbagai hal seputar Hari Raya Qurban, mulai dari berita paling sederhana hingga kompleks, yang membutuhkan perhatian lebih. Berita yang membuat saya tak henti bertanya adalah mengenai berbagai kecelakaan dalam proses pengantrian untuk mengambil daging qurban. Pertanyan yang selalu ada dalam benak saya adalah:
1). tidak bisakah para pengantri sabar untuk menunggu giliran dipanggil namanya?
2). apakah ada sesuatu yang salah dari aparat dalam mengatur antrian itu?
3). mengapa para warga rela berdesak-desakan hingga susah nafas hanya untuk daging yang jumlahnya tidak sebanding dengan usahanya untuk antri?
4). inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia, hingga benar-benar tak mampu untuk mengonsumsi makanan bergizi?
5). atau itukah potret kerakusan masyarakat Indonesia, hingga rela menyiksa diri untuk mendapatkan sesuatu yang GRATIS? meskipun sebenarnya meraka sering mengonsumsinya

Antrian bejubel hingga melebihi kuota antrian yang diprediksi sebelumnya hingga setiap orang merasa kesulitan untuk bernafas tentu bukan hal yang sekali dua kali terjadi di negeri ini. Tak hanya pada pembagian daging qurban saat Idul Adha, namun juga saat pembagian zakat pada saat menjelang Idul Fitri atau "angpao" saat Idul Fitri. Bukan hanya berdesakan di tengah antrian bejubel, sering kali ada pengantri yang mendapat kecelakaan, seperti sesak nafas, lecet-lecet karena terseret-seret, atau bahkan parahnya lagi harus ada korban (meninggal) pada prosesi pembagian rejeki ini. Tentu hal tersebut sangat miris, mengingat niat awal yang positif dari para pengantri, yaitu berusaha untuk mengais rejeki.

Sebenarnya, bila disimak lebih rinci perbandingan hasil yang didapat dengan usaha untuk mengantri sangatlah jauh. Para warga sangat rela untuk mengeluarkan tenaga sedemikian rupa (ditambah kesengsaraan yang diterima), sedangkan rejeki yang didapat hanyalah sedikit, seperti 1 kg daging. Sepintas, mungkin 1 kg daging sangat bermakna, apalagi untuk kalangan orang miskin. Namun, tidak semua orang melihat bagaimana realita pembagian di lapangan. Orang harus berdesakan hingga kesulitan untuk bernafas, beruntung kalau tidak meninggal. Sehingga dapat disimpulkan biaya untuk mendapatkan daging memang Rp 0, tapi kalau biaya lain dihitung (seperti sesak nafas,dll) maka warga harus menanggung biaya lebih dari harga daging yang dibagikan.

Kembali ke pertanyaan saya di atas. Saya pikir ini adalah salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk tidak bisa menerapkan pelajaran "antri" dalam kehidupan nyata. Semenjak SD dalam pelajaran PKn selalu diajarkan untuk rapih dalam menunggu giliran (antri), namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukannya. Para warga terkadang tidak sabar untuk mendengar namanya disebut (atau takut kehabisan barang yang dibagikan?) sehingga maju ke depan hingga membuat orang-orang di depannya terdesak, dan akhirnya satu tempat pembagian riuh,penuh dan sesak oleh lautan manusia.

Setiap kegiatan pembagian pasti ada tim pengatur agar para pengantri dapat antri sesuai dengan peraturan. Mendengar berbagai kecelakaan terjadi dalam prosesi ini, saya pikir tidak bisa secara sepihak terus menerus menyalahkan aparat penegak peraturan bila yang diatur saja demikian. Tidak bisa tim pengatur berdiri sendiri dengan berbagai aturan yang telah mereka buat, sementara para pengantri tidak mau tunduk pada aturan tersebut.

Menuju petanyaan ketiga pada urutan pertanyaan yang saya ajukan di atas. Mengapa warga rela berdesak-desakan untuk barang yang tidak sebanding dengan usahanya mendapat barang tersebut? Hingga saat ini saya belum dapat memberikan jawaban pasti. Jawaban yang ada dalam pikiran saya mengenai pertanyaan ini masih prediksi belaka. Mungkin para pengantri sangat mengidamkan barang gratis (secara rupiah). Mungkin mereka memang benar ingin mengambil hak mereka. Mungkin karena mereka tidak bisa lagi menikmati barang itu dilain waktu. Bebarapa orang akan berpikir para pengantri adalah orang yang kurang kerjaan. Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan begitu saja karena sebenarnya orang-orang itu benar membutuhkannya.

Dengan ditayangkannya liputan tragis seputar pembagian daging qurban, pertanyaan utama dalam pikiran saya adalah "inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia? atau kerakusan? Keduanya berbeda sangat tipis bila ditelaah kembali.
Orang yang seharusnya mengantri dalam proses pembagian tersebut adalah orang miskin, yang benar-benar membutuhkan santunan. Namun, saya tidak yakin dengan teori tersebut, karena masih banyak watak masyarakat kita yang sangat suka dengan sesuatu Rp 0-->GRATIS. Masih banyak orang Indonesia yang berpikir aneh, seperti "maju bila ada pembagiaan, mundur bila ada pemungutan", juga masih banyak orang Indonesia yang bertindak tidak masuk akal dengan melakukan kegiatan yang sebenarnya keuntungan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Cukuplah bukti di lapangan (bagi saya) untuk mengatakan bahwa tidak semua yang ada di tempat pembagian adalah orang miskin. Bila begitu, orang yang tidak miskin ini sebenarnya memang mengaku (berpura-pura) miskin atau mengutamakan kerakusan belaka?. Saya pikir kerakusan memegang kendali pada orang-orang tersebut dalam situasi seperti ini. Bagaimana tidak? orang-orang yang mengaku miskin hanya ingin merasakan barang gratis, padahal mereka sudah pernah merasakan barangnya dan cukup mampu untuk membelinya.
Sekarang kita melihat kondisi itu tanpa melibatkan orang yang berpura-pura miskin di dalamnya, hanya mengasumsikan bahwa hanya ada orang miskin di dalamnya. Bisa dikatakan tingkat kemiskinan negri ini sudah akut karena bahkan hanya untuk membeli makanan bergizi saja tidak mampu. Sangat disayangkan. Kemiskinan yang pada akhirnya membuat orang berpikir tidak rasional sehingga berani untuk (secara tidak disadari) menyiksa diri sendiri. Bisa jadi juga dengan terbelitnya kemiskinan mereka juga bertindak rakus. Orang miskin bukan tidak mungkin bertindak rakus, karena sebenarnya mereka takut untuk masuk ke jurang kemiskinan lebih dalam, oleh karena itu mereka berusaha untuk mendapatkan lebih (apapun caranya). Dan bila orang mampu bertindak rakus, mungkin karena mereka tidak ingin kembali mendapatkan masa miskinnya atau ingin menikmati sesuatu yang lebih.

Yang jelas, drama pembagian rejeki (seperti hewan qurban)adalah drama yang membuat saya terus bertanya, "Apakah di tempat itu semuanya orang miskin? Jika begitu, separah itukah potret kemiskinan tanah air ini? Jika di tempat itu tidak semua orang miskin, maka separah itukah kerakusan para masyarakat Indonesia?"

Yang sangat perlu dipikirkan ulang oleh seluruh masyarakat adalah bahwa sebenarnya mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dari harga daging, yang berarti pembagian tersebut tidak GRATIS-->Rp 0. Mereka menganggap pembagian tersebut gratis karena tidak mencantumkan unsur berdesakan, sesak nafas, lecet-lecet, dan pertaruhan nyawa.

Saturday, November 13, 2010

Un Soir du Paris

Kalimat tersebut tidak berarti saya pernah menikmati sore hari menunggu tenggelamnya sang fajar di kota impian saya, Paris. Kalimat tersebut adalah penggalan judul buku berisi kumpulan cerpen yang saya baca, diterbitkan oleh Gramedia. Penulis novel-novel ternama seperti Clara Ng menghiasi beberapa lembar dari buku tersebut.

Sebenarnya saya bukan penggemar fanatik dari novel-novel fiksi. Namun, untuk novel fiksi kali ini, Un Soir du Paris, saya merasa ada hal-hal yang sangat terkait dan mendekati kehidupan nyata, bahkan dapat dikatakan novel tersebut merupakan gambaran kehidupan nyata.

Bercerita mengenai kehidupan para manusia yang hidup dengan suatu penyakit psikis (jika itu dapat disebut sebagai sebuah penyakit), orientasi seksual yang menyimpang (jika itu dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan), dan hidup dengan tekanan dari masyarakat sekitar. Ya, saya berbicara mengenai penyuka sesama jenis, gay atau lesbian.

Dalam buku itu diceritakan bahwa para penyuka sesama jenis tersebut mengaku terang-terangan di hadapan masyarakat dan tidak mengaku, sekalipun pada teman dekatnya sendiri. Hal ini tentu menjadi pro kontra berlanjut jika dijadikan topik pembicaraan publik. Seputar kelayakan mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Kebanyakan orang akan mengaitkan ketidaksesuaian hal tersebut dengan nilai agama, budaya serta moral. Sehingga para penyuka sesama jenis mendapat tekanan yang luar biasa dari masyarakat. Beruntung bila hanya dibicarakan. Kebanyakan dari mereka disingkirkan dan sedikit ada orang yang mau mendekat karena dianggap mereka telah melakukan penyimpangan sosial. Anggapan dan tindakan masyarakat tersebut memang terkesan berlebihan, seperti tidak menghormati kebebasan orang hidup. Itulah yang diceritakan dalam buku.

Bila dikaitkan dengan kehidupan nyata, memang tidak berbeda. Beberapa teman saya adalah penyuka sesama jenis. Mereka tidak mau kehidupan mereka disorot oleh masyarakat karena tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu, sehingga hanya menceritakan hal tersebut ke teman-teman terdekatnya saja. Bagaimana dengan orang tua? Teman-teman saya menjawab mereka mencari saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut pada orang tua, beberapa mengatakan hal ini adalah sangat rahasia dan jangan sampai orang tua tahu sedikit pun. Tidak ingin membuat orang tua bersedih, itulah alasannya. Tidak berbeda dengan novel yang saya baca, sehingga dapat dikatakan bahwa novel ini adalah gambaran nyata suatu kehidupan.

Izinkan Mereka Diterima di Bumi Ini!
Bukan sesuatu yang salah, meskipun sebagian orang mengatakan hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan seksual. Saya cukup menghormati perasaan tersebut, meskipun saya bukan penyuka sesama jenis dan selalu memohon perlindungan-Nya untuk berada dalam jalan yang wajar (menyukai pria). Bisa dikatakan para penyuka sesama jenis tersebut tidak berada dalam jalan wajar, jalan yang mana wanita hanya menyukai pria dan pria hanya menyukai wanita. Namun sekali lagi, mereka tidak salah. Semenjak lahir para orang tua dan mereka sendiri pun tentu berharap menjadi manusia yang hidup di jalan lurus, seperti orang kebanyakan, termasuk dalam hal percintaan untuk menyukai lawan jenis. Penyimpangan menjadi seorang gay atau lesbian mungkin karena “kecelakaan” belaka, dalam arti mereka masuk ke dunia itu tanpa disangka-sangka sebelumnya dan juga sebagai suatu hal yang tidak diinginkan. Lama kelamaan bagi mereka sendiri akan menjadi sebuah naluri.

Mereka tidak salah dan justru senang dengan kehidupanyya. Tapi yang menjadi suatu ganjalan adalah caci maki dan tekanan masyarakat sekitar mereka. Masyarakat adalah golongan yang dekat dengan kehidupan setiap individu. Ketika masyarakat pun sudah mengecam, maka kemana lagi mereka harus berlindung? Tidak mungkin mereka akan terus-terusan berinteraksi dengan keluarga saja.

Saya pun tidak menyalahkan masyarakat atas pemikirannya. Meskipun sangat menyangkan hal tersebut. Saya menyayangkan pemikiran masyarakat yang tidak mencoba untuk melihat dari lain sisi, bila mereka menjadi seorang penyuka sesama jenis. Pemikiran yang menurut saya terlalu sempit karena langsung menghakimi suatu hal tanpa melihat latar belakang dan alasan. Sangat disayangkan bahwa pemikiran mereka sangat normatif, sesuai dengan apa yang seharusnya pada ajaran agama dan tatanan moral. Seperti yang saya katakan, para gay dan lesbian pun tidak menginginkan terjun dalam dunia tersebut, mereka ingin seperti kebanyakan orang yang hidup dalam jalur wajar. Namun, “kecelakaan” (sesuatu yang sama sekali tidak disangka) membawa mereka ke dalam dunia tersebut. Tentu sangat berat ketika harus menerima sanksi masyarakat yang sedemikian beratnya (dijauhi, dikucilkan). Meski begitu, beberapa dari para gay dan lesbian tidak dapat mengubah orientasi tersebut karena telah menjadi sebuah naluri. Beruntung bagi sebagian gay dan lesbian yang dapat keluar meninggalkan perasaan tersebut. Namun bagi yang tidak bisa, mereka hanya akan terus berpikir bahwa masyarakat adalah musuh.

Saya pikir masyarakat harus membuka pikiran lebih luas untuk menghormati pilihan para penyuka sesama jenis. Gay dan lesbian hanya butuh dihormati. Masyarakat tidak perlu berusaha untuk mengubah para penyuka sesama jenis, karena mayoritas dari mereka adalah orang dewasa yang dapat berpikir dan mengetahui peraturan dalam agama, khususnya. Mengenai perubahan pada diri gay dan lesbian, hanya diri mereka sendiri yang dapat mengubahnya. Sekuat apa pun dorongan masyarakat untuk mengubahnya, perasaan tersebut tidak akan hilang karena telah menjadi naluri.

Izinkanlah mereka untuk bergabung kembali dalam masyarakat, karena setiap orang membutuhkan masyarakat. Hormati mereka seperti layaknya orang biasa, karena pada dasarnya setiap manusia hanya ingin dihormati dan dihargai pilihan hidupnya. Menurut saya, tidak ada pilihan hidup yang salah. Hanya mungkin, pilihan mereka berada dalam jalur yang tidak biasa dipilih oleh orang lain. Selama pilihan mereka tidak mengganggu orang lain, maka layaklah mereka untuk mendapat penghormatan tersebut. Saya berpikir mereka bukan seperti monster yang sedang mencari mangsa, karena mereka hanya akan suka pada orang yang memiliki orientasi yang sama. Rangkul mereka dalam kehidupan bersama karena mereka pasti juga memiliki beragam sisi positif yang tidak diketahui oleh masyarakat. Menjadi gay dan lesbi bukan keninginan mereka sejak awal. Kejadiaan tak disangka yang kemudian menjadi sebuah pilihan hidup berdasarkan naluri yang mereka miliki. Namun, bukan berarti pilihan tersebut tidak dapat mereka ubah……… Oleh karena itu, jangan singkirkan mereka, rangkul mereka dalam kebersamaan, beruntunglah apabila mereka menemukan sebuah pencerahan dari dalam hati yang terdalam untuk kembali ke jalan wajar. Izinkanlah mereka untuk dapat terus menapak di bumi ini tanpa ada suatu penolakan apapun.


Friday, November 5, 2010

Surat untuk Yogyakarta (bagian 2)



Kla Project - Yogyakarta

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…



Itulah lirik lagu Yogyakarta dari Kla Project. Membuat saya bernostalgia tentang kota asal saya, tempat saya dibesarkan.
Benar. Saat mendengar musisi jalanan beraksi dan menyaksikan kaki lima menyajikan sajian khas berselera, saat itulah saya benar-benar merasa tentram.
Berjalan di tepian Jalan Malioboro, melewati depan Benteng Vendenburg dilanjutkan Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia. Sungguh membuat saya berada dalam balutan kebudayaan tradisional yang tidak lekang oleh waktu meski banyak budaya luar masuk ke kota ini. Belum lagi ditambah dengan sikap masyarakat ramah yang Njawani, berkarakter orang Jawa selayaknya.
Mengenang daerah asal memang tidak ada habisnya. Selalu ada ingatan-ingatan yang kemudian muncul, mengingatkan lebih rinci akan berbagai hal yang telah dilakukan di kota tersebut. Kota yang indah, dikunjungi oleh turis dari berbagai belahan dunia karena budayanya, dengan suasana tradisional di berbagai sudut kota. Sungguh, tidak akan terlupakan.
Namun, kenangan itu berubah menjadi rasa sedih berkepanjangan sejak tanggal 26 Oktober 2010. Merapi, sebagai gunung aktif di DIY melakukan aktivitasnya. Banyak korban tertelan olehnya. Hujan abu, pasir,krikil dan suara perut bumi pun terdengar dari Kota Yogyakarta.
Kota berubah menjadi putih (keabu-abuan) dan berdebu. Keadaan sangat mencekam, tidak seperti Kota Yogyakarta yang biasa saya kenal sebagai kota bersahabat dan ramah. Sungguh mengejutkan, mengingat jarak merapi yang berada di daerah Sleman lumayan jauh dengan kota, meski keduanya masih berada dalam satu provinsi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta tidak lagi seperti sebelumnya. Saat ini kota tersebut sangat berdebu, kehilangan jiwa budayanya, kehilangan aktivitas warga dengan lalu lalang para turis. Meski begitu, beberapa kerabat saya mengatakan terdapat suasana mistis di kota ini. Berhubungan dengan Keraton dan makhluk lainnya. Hal yang sebenarnya tidak logis untuk dinalar, namun itulah sepenggal kepercayaan sebagian orang Yogyakarta.
Bencana Merapi memang sangat memprihatinkan seperti yang bisa dilihat di televisi. Suasana Yogyakarta dan sekitarnya pun turut mencekam, tidak ada yang mampu melawan gejolak alam tersebut.
Segenting apapun keadaannya, separah apapun jadinya kota ini, saya tidak akan pernah lelah dan bosan merindukan kota ini. Merapi memang membuat saya sangat sedih karena kota saya terkena dampaknya, banyak orang menjadi korban dan banyak orang pergi untuk keamanan. Namun, hal itu tidak menghalangi saya untuk memendam dan menjalankan keinginan kuat kembali ke kota tercinta. Akan selalu saya rindukan dan saya yakin bencana ini akan segera berakhir, hingga mengukir Kota Yogyakarta kembali indah seperti sedia kala.

Thursday, November 4, 2010

Dalam Kepalsuan

Kompas (3/11/2010). Berita 1: Presiden SBY mengunjungi barak pengungsian merapi. Berita 2: RI 1 datang, barak berubah. Berita 3: Anak-anak sekolah dilatih menyambut kedatangan presiden. Berita 4: Dikunjungi SBY, jalan sudah tidak becek. Liputan6.com: Sambut SBY, pengungsi dipinjami kasur.

Itulah inti berita yang saya baca di media masa. Membaca berita tersebut entah mengapa ada perasaan janggal pada diri saya, dan berpikir pihak mana yang sebenarnya bodoh. Apakah pihak masyarakat yang sangat terobsesi untuk menyenangkan tamu atau pihak kepresidenan yang memaksa masyarakat untuk bertindak baik (seolah-olah tidak ada apa-apa) sekalipun saat kondisi bumi sedang genting. Berita tersebut tentu sangat menarik bagi saya.

Saya yakin, hal tersebut bukan pertama kali yang dilakukan oleh masyarakat (korban bencana) saat akan dikunjungi oleh presiden. Sebelumnya, presiden juga pernah mengunjungi suatu daerah di Sulawesi. Presiden akan turun langsung untuk melihat kondisi masyarakat di sana, di daerah perkampungan kumuh yang tentu banyak aktivitas rumah tangga. Perkampungan kumuh yang mana kampung tersebut sebenarnya terlalu sempit untuk menampung jumlah manusia. Banyak jemuran warga bergelantungan di depan rumah dan barang tersebut harus disingkirkan karena presiden hendak datang. Sehingga presiden akan melihat bahwa kampung tersebut sangat indah, tertata, dan orang-orang di dalamnya pun makmur.

Pertanyaan pun muncul dalam benak saya. Sebenarnya, siapa yang mengatur ini semua? Apakah kepala kelompok masyarakat atau bawahan presiden? Atau keduanya? Hati dan pikiran saya lebih cenderung pada pilihan jawaban yang terakhir. Keduanya. Bawahan presiden tentu tidak ingin dimarahi (oleh atasannya) dalam bekerja secara teknis mengurusi kawasan dan korban bencana alam. Oleh karena itu, para bawahan tersebut meminta pada masyarakat untuk bertindak seolah-olah mereka baik-baik saja, seolah-olah mereka tidak dalam kondisi sebagai korban bencana alam. Permintaan tersebut ditanggapi oleh masyarakat, mereka menjalankan permintaan (instruksi) tersebut. Ditambah lagi dengan alasan masyarakat senang untuk menyenangkan tamu, apalagi tamu besar. Gayung bersambut. Bawahan presiden mengatur, korban bencana menjalankan, sehingga terciptalah kondisi palsu. Dan hal tersebut sudah lumrah terjadi, meskipun memancing emosi orang yang peka. Kepalsuan.

Seandainya berbagai pihak dapat berpikir logis, tidak menyertakan pemikiran untuk menyenangkan tamu atau agar tidak ditegur oleh atasan, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Bila mereka berpikir logis, mereka akan membiarkan kondisi tersebut layaknya daerah yang dihuni oleh orang-orang yang terkena bencana alam. Mereka akan mengijinkan presiden untuk melihat hal nyata yang sebenarnya terjadi, bukan hal yang ditambah atau dikurangi. Tapi pengandaian itu tidak terjadi.

Sebenarnya ini benar-benar kesempatan bagi masyarakat untuk benar-benar menunjukkan bahwa daerah tersebut tidak baik-baik saja. Setidaknya dengan hal yang tidak ditutupi presiden diharapkan akan mampu membuat suatu tindakan cepat. Setidaknya dengan hal ini masyarakat dapat menginspirasi presiden untuk selalu terjun ke lapangan dalam membuat berbagai kebijakan sehingga beliau akan melihat secara langsung kondisi nyata dan tidak hanya sebatas membaca data.

Namun, pentingnya menunjukkan kondisi nyata belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat dan para bawahan presiden yang takut ditegur (pengecut). Mereka memilih untuk menyenangkan diri presiden daripada mengamankan diri mereka sendiri, entah itu terpaksa atau tidak. Saya pribadi sangat menyesalkan adanya kepalsuan, terlebih kepalsuan tersebut terjadi di tengah bencana alam yang melanda. Saya membayangkan bagaimana reaksi presiden ketika melihat perbedaan antara menengok daerah secara langsung dengan berita yang dibaca di koran dan menghiasi layar televisinya. Sungguh informasi yang sangat berbeda. Perilaku masyarakat untuk mematuhi tradisi menyenangkan tamu tentu sulit diubah. Begitu pula dengan para bawahan yang tidak ingin ditegur oleh sang presiden. Lalu, sampai kapan bangsa ini akan larut dalam kepalsuan?

“Lebay” dalam Pendidikan Indonesia

ditulis: 16 Juni 2010

Orang bisa bertanya-tanya pada judul yang saya angkat di atas. Memangnya dari pendidikan Indonesia apa yang berlebihan? Namun pertanyaan ini akan segera terjawab ketika orang sudah melihat bagaimana cara pelajar Indonesia menuntut ilmu. Dengan memperhatikan secara rinci, maka orang akan berpikir bahwa pendidikan Indonesia benar-benar dapat menyebabkan pertumbuhan psikis yang tidak sempurna. Saya memang bukan pakar pendidikan yang tahu sistem pendidikan yang pas untuk negara ini. Meskipun demikian, selama ini saya bersekolah di Indonesia sehingga saya tahu bagaimana rasanya menempuh pendidikan di negri ini. Bukan hanya kekurangan yang terasa, namun juga kelebihan yang sangat berlabihan, yang justru membuat siswa tidak nyaman.
Pertama. Saya cukup tercengan ketika melihat anak-anak sekolahan sudah mulai memadati jalanan Kota Jakarta pada pukul 05.30 WIB. Bukan karena letak sekolah mereka yang jauh sehingga mereka harus berangkat lebih awal ke sekolah, melainkan karena jadwal sekolah yang dimajukan oleh Pemda menjadi pukul 06.30 ke rumah pada pukul 15.00. Sementara itu mereka baru bisa pulang Pemda sebagai pihak yang mengatur hal ini mengatakan agar kualitas SDM meningkat akibat banyaknya waktu yang dialokasikan untuk menuntut ilmu. Secara logika, peningkatan alokasi waktu untuk belajar memang berpotensi untuk meningkatkan kualitas SDM. Namun, bila terlalu banyak waktu yang disediakan untuk memaksa siswa belajar bukankah waktu tersebut akan menjadi bias? Dalam arti waktu yang dialokasikan akan sia-sia karena sesungguhnya kemampuan otak siswa untuk menangkap pelajaran sudah tidak maksimal. Dengan begitu maka tentunya akan terjadi inefisiensi karena otak sudah tidak mampu, namun masih dipaksakan. Seharusnya sebagian dari waktu tersebut dapat digunakan untuk mengasah kemampuan non-akademis, tetapi yang terjadi sebaliknya. Waktu untuk mengasah kemampuan non-akademis pun berkurang, sementara itu kecerdasan intelektual tidak maksimal.
Kedua. Hal yang paling saya ingat ketika saya duduk di bangku sekolah adalah banyaknya pelajaran yang harus saya pahami, dan hal tersebut malah membuat pikiran kacau balau. Terlebih lagi yang menjengkelkan adalah bahwa tidak semua pelajaran akan kita terapkan di masa yang akan datang dan biasanya pemahaman mengenai pelajaran hanya pada saat beberapa hari sebelum ujian, saat ujian dan beberapa hari setelah ujian. Pemahaman hanya untuk kepentingan nilai, bukan untuk kehausan akan sebuah ilmu pengetahuan. Hal ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang siswa menuntut ilmu hanya karena nilai yang mungkin akan dapat membuat CV nya bagus saat melamar kerja daripada karena kepentingan akan kehausan ilmu pengetahuan? Berdasarkan pengalaman saya di bangku sekolah, hal tersebut terjadi karena banyaknya pelajaran yang disuguhkan oleh sekolah. Siswa tidak bisa fokus pada beberapa pelajaran saja sehingga cenderung untuk hanya mengejar nilai bagus. Banyaknya pelajaran di sekolah membuat siswa bingung pelajaran apa yang harus dipelajari lebih dulu, terlebih tidak setiap siswa menyenangi seluruh mata pelajaran yang harus ditempuh. Maka hasilnya adalah “asalkan nilai bagus”, maka pemahaman pun akan menjadi hal yang dinomorduakan. Pertanyaannya, apakah negri ini terobsesi untuk menciptakan generasi penerus yang multitasking?
Ketiga. Adanya tuntutan yang dari pihak sekolah atau pemerintah yang mengharuskan siswa untuk mendapatkan nilai minimal sama dengan batas ketuntasan. Batas ketuntasan yang saya alami saat duduk di bangku sekolah berkisar antara 6 hingga 7. Berarti, bila di bawah kisaran tersebut siswa harus melakukan remidi, atau ujian ulang. Semua siswa tentu tidak menginginkan untuk melakukan ujian ulang, karena berarti mereka harus belajar lagi untuk menghadapi berbagai soal yang akan muncul. Maka dapat berpotensi membuat siswa berkata “asalkan nilai bagus”, sehingga pemahaman pun tidak diperhatikan. Bukankah ini berarti bahwa standar nilai tersebut terlalu tinggi? Bukankah ini juga berarti bahwa sekolah dan pemerintah terlalu berlebihan untuk berharap pada siswa mengenai prestasi siswa? Meskipun begitu, banyak orang berpikir bahwa hal kedua dan ketiga yang saya sampaikan adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Yakinkah mereka?
Ketika saya mengeluhkan hal ini pada beberapa guru, mereka malah berkata bahwa nilai bagus adalah indikasi bahwa siswa memahami pelajaran, sehingga perkara mengenai banyaknya jumlah pelajaran di sekolah bukanlah menjadi suatu hal yang harus dipikirkan lebih dalam. Itulah jawaban guru yang diberikan untuk muridnya. Suatu jawaban yang tidak dapat saya terima, sebenarnya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena nilai baik belum tentu hasil kerja keras dari setiap siswa itu sendiri. Bukan berarti saya berburuk sangka pada siswa Indonesia, tapi memang itulah yang saya perhatikan saat saya ada di ruang ujian. Semoga dugaan saya salah mengenai ketidajujuran yang saya sampaikan barusan. Namun, ketika saya menceritakan hal ini pada teman-teman di luar kota mereka menjawab bahwa hal tersebut juga terjadi di daerah mereka.
Bila hal yang tidak sesuai dengan moral pendidikan yang diajarkan, apakah terdapat ketidaktepatan dalam pendidikan negri ini? Menurut hemat saya, memang terjadi ketidaktepatan dalam kebijakan yang ada. Ketidaktepatan yang justru membuat psikis siswa tertekan sehingga siswa cenderung untuk bertindak tidak sesuai dengan perilaku siswa seharusnya. Saya mengatakan hal-hal seperti jam masuk sekolah, jumlah mata pelajaran dan standar nilai justru merupakan suatu kebijakan berlebihan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah maupun pemerintah. Bisa jadi kebijakan yang berlebihan ini pula lah yang memaksa siswa untuk memiliki pola pikir dan tindakan “asalkan nilai bagus”.
Mungkin pemerintah tidak akan memandang kebijakan tersebut berlebihan. Namun, sebagai seorang yang pernah menjadi siswa, saya merasakan beban sekolah yang sangat berat hingga terkadang yang dikejar bukanlah pengetahuan, melainkan nilai semata. Lebih baik jam sekolah dibuat seperti biasa, pukul 7 pagi. Jumlah mata pelajaran dibatasi hanya pada minat siswa sesuai dengan persetujuan guru pendamping (karena dengan fokus pada suatu hal tertentu diperlukan untuk hasil yang maksimal). Selain itu, standar nilai tidak dipatok terlalu tinggi untuk menghindari praktik kecurangan karena “kepepet”.
Dengan solusi yang saya tawarkan, saya justru bertanya-tanya apakah mungkin pemerintah bertindak demikian? Kalau dilihat, bangsa ini benar-benar terobsesi dengan kehadiran generasi muda yang hamper sempurna, yang dapat menjadi generasi multasking. Meskipun begitu kita harus sadar bahwa pola pendidikan yang ada saat ini, kebijakan berlebihan yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM justru meningkatkan rasa stress dan tekanan psikis. Mungkin pemerintah dan sekolah tidak percaya opini saya barusan. Namun, ada baiknya bila mereka terjun ke lapangan sesering mungkin dan mengajak para siswa berdialog mengenai pendidikan yang mereka hadapi, daripada meneruskan kebijakan yang berlebihan tersebut. Saya pikir perasaan mereka tidak berbeda jauh dengan saat saya menjadi siswa dulu.

Menjawab Sebab Kemiskinan ( berdasarkan buku Confession of an Economic Hit Man)

Indonesia. Nama sebuah negara yang cukup menyita perhatian internasional akan kekayaan alamnya. Beribu hutan, pantai, berjuta ton kandungan mineral yang terdapat di negara ini sungguh manarik para investor dalam maupun luar negri untuk berinvestasi dalam sektor tambang negara ini. Meskipun begitu, nasib masyarakat Indonesia tidaklah seindah kekayaan alam yang diceritakan. Ketimpangan pendapatan tiap individu sangat besar, terutama di kota-kota ternama. Kemiskinan masih menjadi konsumsi para wartawan nasional maupun internasional untuk diberitakan. Dalam balutan kemiskinan, kualitas SDM pun rendah karena sulitnya dana untuk masuk sekolah dan kesehatan pun patut dipertanyakan bila melihat pendapatan masyarakat sudah habis digunakan untuk makan sehari-hari.
Sungguh ironis. Dengan usia yang sudah mencapai 65 tahun, dengan sumber daya alam mulai dari yang berguna sebagai obyek wisata hingga sumber mineral, angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 34,96 juta orang atau sekitar 15% dari total penduduk Indonesia. Belum setiap warga negara dapat mengenyam indahnya bangku sekolah, dan belum setiap warga negara dapat merasakan nikmatnya berobat dengan biaya terjangkau (minim) dan pelayanan yang memuaskan. Pertanyaannya adalah mengapa dengan usia se-tua itu Indonesia masih belum dapat merasakan indahnya kemerdekaan dalam hal ekonomi hingga seluruh masyarakat layak untuk kehidupan ekonomi yang mapan?
Pertanyaan tersebut tentu menjadi pertanyaan utama dibenak para insan negri ini, yang benar-benar menginginkan adanya kemerdekaan dalam segala bidang. Banyak orang menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa penduduk Indonesia terlalu banyak hingga pemerintah sulit untuk mengatur atau memantau, utang negara ini terlalu besar hingga sebagian besar pendapatan bisa saja hampir habis hanya untuk membayar bunga utang seperti tahun 2009 APBNP : 109,59 T atau 12,6% penerimaan negara 869,99T dan 10,9% dari belanja negara 1.003,01T, ada juga yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia tidak cukup pintar sehingga tidak mampu untuk mengolah berbagai sumber daya alam tersebut ,dll. Semua jawaban tentu masuk akal bila dipikirkan kembali, dan seharusnya negri ini dapat menjadi negara seperti yang selama ini diimpikan bila sudah tahu letak kesalahannya. Namun pada kenyataannya kemerdekaan ekonomi seperti yang diidam-idamkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia belum menjadi kenyataan. Meskipun begitu, saya memiliki jawaban pribadi, yaitu adanya campur tangan seorang economic hit men. Inspirasi jawaban tersebut saya temui saat saya membaca buku karangan John Perkins berjudul Confession of an Economic Hit Man (Pengakuan dari Ekonom Perusak).
Kisah ini bercerita mengenai sekelompok ekonom yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan Amerika Serikat dengan berbagai cara, termasuk mencelakai negara lain. Sekelompok ekonom ini dapat bertindak seperti agen yang menyalurkan informasi mengenai berapa jumlah nominal uang yang ingin dipinjam oleh sebuah negara ke World Bank, IMF, ADB atau lembaga keuangan internasional lainnya dengan berbagai syarat. Perlu diketahui, bahwa ekonom-ekonom ini tidak dibayar oleh pemerintah AS, melainkan oleh pihak swasta meskipun berbagai kegiatannya bertujuan untuk melindungi dan menyejahterakan AS. Bila proyek ekonom tersebut gagal, maka nama swasta yang akan tercoreng, namun bila berhasil maka nama pemerintah juga akan terseret dalam keberhasilan proyek tersebut.
Pertama. Para ekonom melihat sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara dan mengincar negara yang kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini dimaksudkan untuk menyelamatkan AS dari defisit mineral dan energi, mengingat AS adalah salah satu negara terbesar yang mengonsumsi dua hal tersebut. Kedua. Ekonom akan memprediksi pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan melibatkan syarat di dalamnya. Misal: pertumbuhan ekonomi negara akan mencapai 10% atau meningkat dua digit dari angka tahun sebelumnya bila negara tersebut membuka perusahaan minyak baru (yang mana perusahaan tersebut adalah milik AS). Pembukaan perusahaan baru tersebut tentulah tidak cukup tanpa didukung dengan kapasitas listrik suatu daerah yang memadai atau lebih, bahkan hingga proyek bandar udara disekitar lokasi perusahaan minyak tersebut. Meskipun begitu, para ekonom nakal tahu bahwa negara tersebut tidak memliki dana yang cukup untuk membiayai proyek tersebut hingga terciptalah suatu angka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Oleh karena itu, economic hit men mengusulkan untuk mengambil utang dari World Bank, IMF atau yang lainnya. Keempat. Setelah negara menyetujui usulan economic hit men dan dana utang telah cair, maka suatu negara harus membayar beban bunga yang dibebankan. Sementara itu, para lembaga finansial dunia pun memberikan saran bila ingin meminjam sejumlah dana, Yaitu memberikan sebagian hasil bumi pada mereka (yang kemungkinan besar akan disalurkan ke AS, mengingat AS sebagai kontributor utama lembaga tersebut). Kelima. Proses tersebut berulang kembali. Economic hit men memprediksi angka pertumbuhan ekonomi, menawarkan proyek pada negara, sebagai perantara dengan lembaga keuangan internasional, hasil dari proyek tersebut sebagian harus diberikan pada lembaga selain itu negara juga harus membayar bunga dan melunasi utang tersebut pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan.
Bila benar economic hit men adalah alasan dari pertanyaan utama di atas, maka apa kerugian Indonesia? Pertama. Pantas saja negara ini tidak pernah merasakan hasil kekayaan alam seutuhnya karena sedikit demi sedikit kekuasaan tersebut dikuasai oleh asing. Awalnya perusahaan asing (AS) masuk ke negara ini, menguasai kekayaan alam di suatu daerah, Indonesia pun lalu mengirim sebagian hasil bumi tersebut ke lembaga keuangan internasional sebagai syarat pengajuan hutang. Dari langkah awal saja sudah nampak bahwa rakyat Indonesia tidak bisa menguasai kekayaan tersebut sendiri. Kedua. Utang di negara ini tidak pernah habis, karena begitu utang Indonesia terhadap World bank, IMF atau yang lainnya menipis, maka economic hit men pun akan muncul dengan penawaran proyek-proyek baru yang pastinya akan mendorong Indonesia untuk kembali melakukan hutang ke lembaga-lembaga tersebut. Ketiga. Dengan pembayaran bunga utang yang dilakukan seperti rutinitas, maka dana alokasi ke pendidikan dan kesehatan pun berkurang, akibatnya masih banyak pengangguran maupun orang yang tidak berpendidikan serta banyaknya para rakyat yang tidak mampu berobat karena masalah biaya. Singkat kata, akibat economic hit men negara miskin yang kaya akan sumber daya alam akan semakin miskin dan tidak dapat menikmati hasil pemberian Tuhan tersebut, dan perlu diketahui bahwa hal semacam ittu banyak terjadi pada negara dengan karakteristik kekayaan alam yang melimpah.
Lantas apa yang terjadi bila negara tidak mau menyetujui bujukan para ekonom nakal tersebut? Pada tahun 1970-an seorang Presiden di Panama (negeri yang juga kaya akan sumber daya alam) berniat untuk menyatukan dunia dan membantu AS mengurangi ketergantungan pada minyak. Oleh karena itu, Presiden menolak rancanagn proyek yang dibuat oleh economic hit men. Kabar terakhir yang diterima adalah Presiden tersebut meninggal dalam kecelakaan pesawat. Seperti yang juga diceritakan di awal buku, bahwa bila kepala negara menolak menyetujui rancangan proyek tersebut, maka pembunuhan adalah jalan terakhir sekaligus jalan pintasnya!
Saya pribadi sangat tercengan saat membaca buku itu. Betapa AS yang telah diakui oleh dunia sebagai negara super power yang sangat kecanduan akan minyak bumi berusaha untuk merampas negara penghasil minyak bumi dan membebankan utang pada mereka sehingga AS tetap dapat tumbuh baik di dunia dengan minyak yang telah dirampas. Pertanyaan dalam benak saya adalah bagaimana bila angka pertumbuhan ekonomi yang diprediksikan oleh ekonom nakal tersebut tidak tepat? Apakah suatu negara dapat berhenti untuk mempercayai ekonom tersebut? Bila memang dugaan saya mengenai economic hit men benar adanya, adakah perlawanan hebat dari rakyat negri ini untuk tidak bergantung pada AS atas pinjaman utangnya dan berusaha untuk menjauh dari cengkeraman negri Paman Sam? Sebuah pertanyaan yang dilema dan membingungkan karena kita tidak menginginkan seorang pun dari negri ini tewas karena hal tersebut. Atau pertanyaan konsekuensi dari usaha tersebut adalah dikucilkannya negri ini dari kawasan internasional. Siapkah? Setiap orang memiliki jawabannya masing-masing. Namun hal tersebut adalah keputusan dari para pengambil kebijakan, yang mana mau tidak mau harus disetujui oleh seluruh rakyat. Meskipun begitu bukan berarti kita harus pasrah pada negara adiguna tersebut, melainkan pemerintah bersama rakyat harus memiliki komitmen pada proyek yang berguna untuk kepentingan masa depan bangsa, yang mana proyek tersebut jauh dari campur tangan asing. Saya yakin masih ada urusan dalam negri ini yang sama sekali tidak boleh dicampurtangani oleh para orang asing.




Jakarta, 9 Juni 2010

Surat untuk Yogyakarta (bagian 1)


Kembali ke kehidupan nyata setelah 3 bulan berhibenasi, berkumpul bersama sanak saudara serta merehatkan otak untuk sementara waktu. Ternyata memang benar-bnenar bukan hal yang mudah. Terlalu lama libur di kota tercinta memang membuat diri saya terlalu nyaman, hanya bermimpi tanpa melakukan kerja keras.

Yogyakarta adalah kota asal saya. Disanalah saya menghabiskan waktu libur selama 3 bulan. Saat di kota tersebut saya merasa sedih melihat teman- teman saya kuliah, sedangkan saya tidak. Iri karena tidak menggunakan otak saya sebagaimana mestinya. Sering saya katakana pada siapa pun itu bahwa saya sangat sangat rindu belajar. Saya merindukan kuliah dengan mendengarkan dosen, diskusi kelas, menegrjakan tugas, membaca buku pelajaran, saya benar-benar merindukannya. Meski mungkin ada beberapa hal yang dapat saya lakukan, namun ada dorongan rasa malas bila saya harus melakukan kegiatan akademis dalam suasana liburan yang penuh dengan godaan.

Saya sering merindukan Yogyakarta. Bagaimana pun juga meskipun telah satu tahun berpisah, namun selama 17 tahun kehidupan saya habiskan di kota tersebut. Betapa Yogyakrta menjadi kota yang selalu saya rindukan. Beribu kenangan ada di kota tersebut. Mulai dari keluarga inti yang selalu ada di sana, teman-teman yang luar biasa entah itu SD,SMP atau SMA. Berbagai perjuangan untuk diri sendiri telah saya lakukan di sana.

Suasana kota yang penuh dengan budaya, jalanan yang penuh dengan motor, turis-turis berlalu lalang di tengah sengatan panas siang sang matahari tak membuat saya berhenti mengagumkan dan merindukan kota ini. Meskipun saya membenci saat-saat saya harus mengendarai kendaraan di tengah riuhnya deru motor, namun justru hal itu yang pertama kali saya kenang saat tidak ada di kota tersebut.

Sungguh. Yogyakarta sebagai kota asal memang terlalu dan sangat nyaman. Sudut-sudut kota yang selalu dihuni oleh pedagang kaki lima, para pengamen dan pengemis yang selalu ada, tempat nongkrong yang tidak jauh berbeda tingkat kenyamanannya dengan tempat nongkrong di kota metropolitan, bahkan pinggir-pinggir jalan yang menyenangkan untuk diduduki. Begitu banyak keindahan kota ini, tak mampu dideskripsikan dengan kata-kata lebih jauh, sebenarnya. Mungkin itu hanya euphoria saya terhadap kota tercinta.

Saat ini bahkan setelah saya di tanah rantau, timbul perasaan rindu dengan keluarga dan teman di Yogyakarta. Begitu pula dengan isi kota tersebut hingga sudut terinci. Beribu atau berjuta persen saya yakin. Tidak akan pernah ada kota yang menngantikan tempat Yogyakarta di hati saya. Tak akan pernah terganti. Tak akan pernah hilang. Tak akan pernah terlupakan. Selalu memunculkan dorongan membuat “Surat untuk Yogyakarta”. Semoga saya dapat kembali lagi secepat mungkin, dan secepat mungkin meninggalkan kota tersebut untuk menghindarai rasa terlena yang berlebihan.



Ditulis: 1 Oktober 2010

Saturday, October 30, 2010

Hello from "Let Me Write"

Welcome! it's Tika Anggara on the blog. Well, it's my first time for having blog like this, so I little bit confuse on what I'm gonna say.
So happy for finally living my plan to get my own blog. I'll write anything comes to my mind, try to show it to others.
I'm trying (yes, little bit hard enough) to build my own confidence then I can do it well.

Actually writing is not something easy for me, but it's not very hard. I used to writing on my laptop, say what's on my mind, give my comments, but I dont publish it. I think it's my time to show it, that I have "something" by writing.
Being in front of the laptop, taking long time to think, arranging what sentence it would be is absolutely not as easy as people thought. I've experienced it.

This blog is gonna be visited by people others (hopefully),I'll try my best to give the best for my writing.

One more! will I always use English on my blog? of course NO! I'm gonna use Bahasa Indonesia also... That's my mothertounge. This greeting is not because i don't like my Bahasa, but I try to express myself on different language, try to explore that skill, try to check how good my English is. And... I've just got inspirated by the Elizabeth Gilbert through her fabulous novel called Eat,Pray and Love (What an easy,mild,refreshing novel)

As I said, I'm gonna only write what comes to my mind, if you wanna give comments just do it. I'd be very happy if it could be your page to visit. I just wanna free up my soul, so just "Let Me Write".