Let Me Write
Showing what I'm thinking about, hope it's good for you (and me)
Saturday, February 19, 2011
When The Hollywood Goes…
Maraknya berita mengenai diberhentikannya distribusi film asing oleh Motion Picture Association (MPA) mendapat tanggapan yang beragan dari masyarakat luas. Pemberhentian distribusi tersebut dilakukan menyusul adanya keputusan dari Kemenkeu mengenai peningkatan tarif impor film asing. Saat jalan negosiasi dengan Kemenkeu sudah tidak menemui hasil akhir yang memuaskan, MPA kemudian memutuskan untuk tidak lagi mengimpor film ke Indonesia. Alhasil, di bioskop tidak akan lagi dijumpai keberadaan film asing, yang bagi Indonesia, keberadaan film asing didominasi oleh film Hollywood. Saat film Hollywood tidak lagi ditayangkan, akankah penikmat film asing beralih ke film dalam negeri?
Bila film Indonesia terus berkarakteristik seperti ini, saya tidak yakin penonton akan cepat beralih ke film dalam negeri karena banyak jalan pintas untuk tetap menikmati film luar, termasuk film Hollywood. Film Indonesia yang bermunculan sangat menyesuaikan diri dengan tren, sehingga tidak dipungkiri memang memberikan kejenuhan tersendiri pada penonton. Saat satu film horror sukses, maka produsen film berlomba-lomba memproduksi film horror karena mereka beranggapan bahwa itulah selera pasar untuk saat ini. Terkadang karena hanya memperhatikan selera pasar, mereka lupa memperhatikan kualitas film sehingga film yang beredar berkualitas abal-abal dengan ide cerita yang kurang masuk akal dan pemain yang asal-asalan. Saat produsen dalam negeri berbondong-bondong menciptakan jenis film yang sama, saat itulah konsumen jenuh dan butuh alternatif jenis film lain. Tidak dipungkiri juga, bahwa film berkualitas dari Indonesia hanya muncul pada saat tertentu seperti musim liburan sekolah. Setidaknya yang ditayangkan pada waktu tersebut adalah film yang dapat diambil pelajarannya dan diketahui alasan film tersebut dibuat.
Meski film Indonesia belum bisa dibandingkan dengan film Hollywood, namun setidaknya ini adalah waktu bagi produsen film dalam negeri untuk terus belajar cara memenangkan hati konsumen. Banyak hal yang perlu dipelajari oleh produsen film, mulai dari ide cerita hingga teknologi yang dipakai dalam proses pembuatan. Saat film asing tidak lagi masuk ke Indonesia, maka terbataslah akses untuk menikmati hiburan luar dan mempelajari kehidupan masyarakat yang berbeda budaya, termasuk bahasa.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, penonton akan mendapatkan jalan pintas yaitu dengan menonton melalui kaset bajakan. Inilah konsekuensi yang harus diterima oleh pembuat kebijakan karena bagaimanapun juga konsumen membutuhkan hiburan berkualitas bukan hanya pada saat-saat tertentu. Hal ini juga bisa menjadi kesedihan tersendiri bagi konsumen karena perbedaan sensasi ketika tidak lagi menonton di bioskop.
Bila kesempatan ini dijadikan waktu untuk memproduksi film dalam negeri yang berkualitas (tidak hanya memperhatikan tren), maka industri film dalam negeri dapat menarik hati konsumen secepat mungkin. Namun apabila kualitas film dalam negeri sama tetap dengan sebelumnya, maka industri film dalam negeri akan semakin dicampakkan karena sudah tidak ada lagi minat konsumen pergi ke bioskop. When The Hollywood goes, hanyalah para produsen film yang dapat meyakinkan hati masyarakat untuk berpikir bahwa produksi Indonesia juga tidak kalah saing.
Budaya Menghormati
Tentu banyak orang yang masih ingat ketika mendapat pelajaran kewarganegaraan (PKn) di tingkat Sekolah Dasar (SD), setiap orang diajarkan untuk selalu menghormati satu sama lain. Demi menjaga tercapainya “Persatuan Indonesia” yang merupakan sila ketiga Pancasila, sikap saling menghormati telah diperkenalkan kepada setiap generasi muda bangsa ini sejak dini. Pengenalan tersebut dilakukan dengan cara memberikan contoh-contoh cerita ringan yang dapat memberikan gambaran pada siswa mengenai bagaimana sebenarnya wujud sikap saling menghormati tersebut. Bukan hanya melalui contoh cerita, sikap ini juga seringkali dikeluarkan dalam soal PKn, sehingga mau tidak mau para siswa harus mempelajari dan mengetahui wujud sikap saling menghormati. Sikap ini dimasukkan dalam kurikulum PKn agar para siswa dapat benar-benar mengenal dan mengetahui sikap tersebut, lebih lanjut agar sikap tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari hingga menjadi sebuah budaya. Mengingat Indonesia adalah negeri multikultural, nampaknya sangat tidak mungkin bila perjalanan negeri ini tidak disertai dengan sikap saling menghormati. Perpecahan adalah kenyataan terakhir yang harus dihadapi bila minim penerapan sikap tersebut dalam suatu masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, masihkah para generasi muda yang tadinya mempelajari PKn di tingkat SD ingat pada sikap saling menghormati? Masihkah para generasi tersebut mengaplikasikan sikap ini dalam kehidupan sehari-hari?
Menghormati berarti mempersilahkan orang lain untuk hidup di jalan yang mereka pilih karena adanya rasa senang atau atas dasar pertimbangan lain. Bila seseorang mengaku bahwa mereka menghormati orang lain, berarti tidak seharusnya ia memaksa orang lain untuk mengikuti pilihan dalam hidupnya, dan tidak seharusnya ia berpikir bahwa pilihan orang lain yang tidak sesuai dengannya adalah salah. Seseorang dianggap telah menerapkan sikap hormat bila ia telah mempersilahkan orang lain untuk memilih hal yang menjadi pilihannya dan tidak mencoba menyalahkan pilihan orang lain.
Penerapan budaya hormat memang tidak mudah. Besarnya ego manusia untuk menganggap bahwa hanya pilihannya saja yang benar dan ketidakmampuan seseorang untuk menganggap adanya kaum minoritas menjadi penghambat penerapan sikap yang seharusnya sudah menjadi budaya ini. Terkadang keberadaan seseorang dalam kelompok mayoritas perlu diwaspadai karena bisa jadi hal tersebut malah membuatnya tidak menghormati pilihan kaum minoritas, yang mana pilihan tersebut tidak sama dengan kaum mayoritas. Praktek memang tak semudah teori yang didapat di bangku sekolah.
Contoh Nyata
Menghormati sesama tentu dimulai dari hal yang terkecil. Bila seseorang bahkan tidak dapat menghormati hal-hal kecil, akan susah baginya untuk menghormati hal besar. Contoh sederhananya dapat diambil dari pilihan musik dan film. Beberapa orang tidak menghormati para penikmat musik dan film dalam negeri karena mereka anggap kualitas hiburan tersebut sangat jauh dengan yang mereka senangi. Seringkali para penikmat musik dan film dalam negeri ini disepelekan karena adanya perbedaan selera. Orang-orang yang menyepelekan selera tersebut merasa bahwa seleranya lebih berkualitas dan berkelas lebih tinggi. Padahal, selera adalah kesenangan dan pilihan masing-masing individu yang tidak dapat dipaksakan. Begitu pula pada masalah yang cukup rumit, yaitu agama dan suku, tidak semua orang dapat menerapkan mawariskan budaya menghormati. Sering terdengar di surat kabar maupun media elektronik mengenai pertengkaran antar umat beragama dengan latar belakang perbedaan agama dan suku. Kisruh di Temanggung dan Banten adalah gambaran nyata tentang minimnya penerapan budaya ini. Memang suatu berita yang ironis bila mengingat bahwa sejak tahun pertama di bangku SD siswa diajarkan untuk menghormati sesama.
Menghormati sesama memang sikap yang harus dibiasakan sejak dini, karena ketika seseorang beranjak dewasa ia akan menemui berbagai hal yang berbeda dengan dirinya. Budaya menghormati bukanlah budaya yang sulit diturunkan ke anak cucu bila kita semua memiliki tujuan hidup dapat membina hubungan baik dengan setiap manusia. Budaya ini memang wajib ada di setiap Negara dan sentero dunia ini sebagai modal awal tercapainya berbagai cita-cita bersama. Bukan suatu sikap yang harus digembor-gemborkan oleh pemerintah, karena memang budaya menghormati dimulai dari diri sendiri dengan niat tulus bahwa seseorang akan menjalin kebersamaan dan kerukunan. Bila setiap orang telah menerapkan budaya ini, maka ancaman akan adanya perpecahan kerukunan dapat diminimalisir. Ditambah juga, tidak ada rasa sia-sia karena telah menerapkan pelajaran yang telah diajarkan sejak duduk di bangku SD.
Menghormati berarti mempersilahkan orang lain untuk hidup di jalan yang mereka pilih karena adanya rasa senang atau atas dasar pertimbangan lain. Bila seseorang mengaku bahwa mereka menghormati orang lain, berarti tidak seharusnya ia memaksa orang lain untuk mengikuti pilihan dalam hidupnya, dan tidak seharusnya ia berpikir bahwa pilihan orang lain yang tidak sesuai dengannya adalah salah. Seseorang dianggap telah menerapkan sikap hormat bila ia telah mempersilahkan orang lain untuk memilih hal yang menjadi pilihannya dan tidak mencoba menyalahkan pilihan orang lain.
Penerapan budaya hormat memang tidak mudah. Besarnya ego manusia untuk menganggap bahwa hanya pilihannya saja yang benar dan ketidakmampuan seseorang untuk menganggap adanya kaum minoritas menjadi penghambat penerapan sikap yang seharusnya sudah menjadi budaya ini. Terkadang keberadaan seseorang dalam kelompok mayoritas perlu diwaspadai karena bisa jadi hal tersebut malah membuatnya tidak menghormati pilihan kaum minoritas, yang mana pilihan tersebut tidak sama dengan kaum mayoritas. Praktek memang tak semudah teori yang didapat di bangku sekolah.
Contoh Nyata
Menghormati sesama tentu dimulai dari hal yang terkecil. Bila seseorang bahkan tidak dapat menghormati hal-hal kecil, akan susah baginya untuk menghormati hal besar. Contoh sederhananya dapat diambil dari pilihan musik dan film. Beberapa orang tidak menghormati para penikmat musik dan film dalam negeri karena mereka anggap kualitas hiburan tersebut sangat jauh dengan yang mereka senangi. Seringkali para penikmat musik dan film dalam negeri ini disepelekan karena adanya perbedaan selera. Orang-orang yang menyepelekan selera tersebut merasa bahwa seleranya lebih berkualitas dan berkelas lebih tinggi. Padahal, selera adalah kesenangan dan pilihan masing-masing individu yang tidak dapat dipaksakan. Begitu pula pada masalah yang cukup rumit, yaitu agama dan suku, tidak semua orang dapat menerapkan mawariskan budaya menghormati. Sering terdengar di surat kabar maupun media elektronik mengenai pertengkaran antar umat beragama dengan latar belakang perbedaan agama dan suku. Kisruh di Temanggung dan Banten adalah gambaran nyata tentang minimnya penerapan budaya ini. Memang suatu berita yang ironis bila mengingat bahwa sejak tahun pertama di bangku SD siswa diajarkan untuk menghormati sesama.
Menghormati sesama memang sikap yang harus dibiasakan sejak dini, karena ketika seseorang beranjak dewasa ia akan menemui berbagai hal yang berbeda dengan dirinya. Budaya menghormati bukanlah budaya yang sulit diturunkan ke anak cucu bila kita semua memiliki tujuan hidup dapat membina hubungan baik dengan setiap manusia. Budaya ini memang wajib ada di setiap Negara dan sentero dunia ini sebagai modal awal tercapainya berbagai cita-cita bersama. Bukan suatu sikap yang harus digembor-gemborkan oleh pemerintah, karena memang budaya menghormati dimulai dari diri sendiri dengan niat tulus bahwa seseorang akan menjalin kebersamaan dan kerukunan. Bila setiap orang telah menerapkan budaya ini, maka ancaman akan adanya perpecahan kerukunan dapat diminimalisir. Ditambah juga, tidak ada rasa sia-sia karena telah menerapkan pelajaran yang telah diajarkan sejak duduk di bangku SD.
Saturday, February 12, 2011
Kampung Idiot dan Hati Koruptor
Begitu miris hati saya saat menyaksikan suatu tayangan di salah satu stasiun berita tanah air. Tayangan yang tidak disangka-sangka ternyata daerah yang diberitakan adalah bagian dari Indonesia. Sebuah daerah di Ponorogo, Jawa Timur dihuni oleh masyarakat cacat mental. Sekitar 70 dari 100 orang yang ada di dusun tersebut tidak dapat hidup selayaknya manusia normal karena mereka memiliki penyakit cacat mental yang dapat juga disebut idiot.
Berawal dari tahun 1960-an, saat dusun tersebut mengalami gagal panen besar-besaran, sehingga para orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi standar untuk anak-anaknya. Mulai sejak itu, generasi yang dilahirkan sebagian besar cacat mental turun temurun. Dalam sebuah keluarga biasanya hanya ada satu atau dua anggota keluarga yang tidak cacat mental, sedangkan jumlah anggota keluarga biasanya ada empat hingga tujuh orang atau lebih. Dengan demikian, anggota keluarga normal mengurus anggota keluarga yang cacat mental mulai dari bangun tidur hingga kembali menjelang tidur. Memang Nampak suasana bantu membantu dalam diri mereka kepada sanak saudara. Keterbatasan finansial bukan berarti hambatan untuk dapat melayani dan membantu para penderita cacat mental. Bukan ditinggalkan, namun justru dibantu agar penderita cacat mental dapat hidup selayaknya manusia normal. Pelajaran pertama yang perlu dicontoh, keterbatasan bukan penghambat untuk menolong sesama.
Saat menyaksikan tayangan tersebut lewat layar kaca, tidak terlintas dalam pikiran saya bahwa mereka adalah penduduk dusun yang idiot karena mereka berjalan dan merokok seperti biasa. Namun mulai ada yang aneh ketik sulit untuk diajak berkomunikasi dan sangat kegirangan (tersenyum bahkan tertawa) sendiri saat bertemu orang baru. Satu hal yang ada dalam benak saya, bagaimana bisa mereka kecanduan oleh rokok? Hampir setiap laki-laki cacat mental yang saya saksikan menghisap rokok. Tentu sangat disayangkan karena bahkan kelompok manusia tak normal itu pun tahu mengenai cara mengonsumsi rokok, salah satu barang perusak kesehatan.
Beralih dari rokok yang dikonsumsi oleh mereka. Saat ini beberapa generasi baru yang dilahirkan terhindar dari cacat mental. Terdapat Sekolah Dasar di dusun tersebut dan di situlah tempat anak-anak normal bersekolah. Sedangkan para anak-anak cacat mental bersekolah di SLB. Namun sayangnya terdapat pengetahuan yang minim dari orang tua mengenai pendidikan sehingga mereka hanya cukup tahu tempat sekolah anak-anaknya tanpa tahu kualitasnya.
Siapa pun yang melihat tayangan tersebut tentu akan teriris hatinya, terlebih saat ini layar televisi marak ditaburi dengan berita korupsi. Seandainya para koruptor melihat tayangan kampung idiot, akankah mereka merasa bersalah dan berniat menghentikan tindakan kejam tersebut? Mungkin tidak semua, atau bahkan mungkin tidak ada. Melihat tayangan kampung idiot saja belum tentu mereka mau karena ini bukanlah tayangan yang berguna untuk karir para koruptor.
Sungguh perbedaan yang luar biasa jauh saat menyaksikan berita koruptor dan tayangan kampung idiot. Penjemputan koruptor menggunakan mobil mewah hingga pelayanan dalam tahanan pun istimewa. Sedangkan penduduk kampung idiot hanya menggunakan motor atau sepeda, yang menurut mereka barang itu sudah sangat mewah dan kehidupan sehari-hari pun jauh di bawah kualitas hidup yang menyiksa para koruptor (rumah tahanan).
Tidak pernah melihat ke bawah sehingga tidak ada rasa syukur, itulah mengapa koruptor tetap beraksi. Koruptor nampaknya sangat kehilangan hati yang menggerakkan jiwa sosial mereka. Seaindainya mereka mau lihat ke bawah, mungkin sudah berbeda lagi ceritanya. Saya yakin, para penduduk kampung idiot bahkan tidak dapat menemukan kata lagi untuk mendeskripsikan kehidupan mereka yang bukan hanya masalah finansial melainkan juga kejiwaan. Tulus, ikhlas, sabar, menerima kenyataan. Itulah pelajaran kedua dari penduduk kampong idiot yang tidak bisa dipelajari oleh para koruptor. Dimana hati para koruptor? Pertanyaan itu selalu muncul bila para koruptor tidak membuka pandangan untuk selalu melihat ke bawah.
Berawal dari tahun 1960-an, saat dusun tersebut mengalami gagal panen besar-besaran, sehingga para orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi standar untuk anak-anaknya. Mulai sejak itu, generasi yang dilahirkan sebagian besar cacat mental turun temurun. Dalam sebuah keluarga biasanya hanya ada satu atau dua anggota keluarga yang tidak cacat mental, sedangkan jumlah anggota keluarga biasanya ada empat hingga tujuh orang atau lebih. Dengan demikian, anggota keluarga normal mengurus anggota keluarga yang cacat mental mulai dari bangun tidur hingga kembali menjelang tidur. Memang Nampak suasana bantu membantu dalam diri mereka kepada sanak saudara. Keterbatasan finansial bukan berarti hambatan untuk dapat melayani dan membantu para penderita cacat mental. Bukan ditinggalkan, namun justru dibantu agar penderita cacat mental dapat hidup selayaknya manusia normal. Pelajaran pertama yang perlu dicontoh, keterbatasan bukan penghambat untuk menolong sesama.
Saat menyaksikan tayangan tersebut lewat layar kaca, tidak terlintas dalam pikiran saya bahwa mereka adalah penduduk dusun yang idiot karena mereka berjalan dan merokok seperti biasa. Namun mulai ada yang aneh ketik sulit untuk diajak berkomunikasi dan sangat kegirangan (tersenyum bahkan tertawa) sendiri saat bertemu orang baru. Satu hal yang ada dalam benak saya, bagaimana bisa mereka kecanduan oleh rokok? Hampir setiap laki-laki cacat mental yang saya saksikan menghisap rokok. Tentu sangat disayangkan karena bahkan kelompok manusia tak normal itu pun tahu mengenai cara mengonsumsi rokok, salah satu barang perusak kesehatan.
Beralih dari rokok yang dikonsumsi oleh mereka. Saat ini beberapa generasi baru yang dilahirkan terhindar dari cacat mental. Terdapat Sekolah Dasar di dusun tersebut dan di situlah tempat anak-anak normal bersekolah. Sedangkan para anak-anak cacat mental bersekolah di SLB. Namun sayangnya terdapat pengetahuan yang minim dari orang tua mengenai pendidikan sehingga mereka hanya cukup tahu tempat sekolah anak-anaknya tanpa tahu kualitasnya.
Siapa pun yang melihat tayangan tersebut tentu akan teriris hatinya, terlebih saat ini layar televisi marak ditaburi dengan berita korupsi. Seandainya para koruptor melihat tayangan kampung idiot, akankah mereka merasa bersalah dan berniat menghentikan tindakan kejam tersebut? Mungkin tidak semua, atau bahkan mungkin tidak ada. Melihat tayangan kampung idiot saja belum tentu mereka mau karena ini bukanlah tayangan yang berguna untuk karir para koruptor.
Sungguh perbedaan yang luar biasa jauh saat menyaksikan berita koruptor dan tayangan kampung idiot. Penjemputan koruptor menggunakan mobil mewah hingga pelayanan dalam tahanan pun istimewa. Sedangkan penduduk kampung idiot hanya menggunakan motor atau sepeda, yang menurut mereka barang itu sudah sangat mewah dan kehidupan sehari-hari pun jauh di bawah kualitas hidup yang menyiksa para koruptor (rumah tahanan).
Tidak pernah melihat ke bawah sehingga tidak ada rasa syukur, itulah mengapa koruptor tetap beraksi. Koruptor nampaknya sangat kehilangan hati yang menggerakkan jiwa sosial mereka. Seaindainya mereka mau lihat ke bawah, mungkin sudah berbeda lagi ceritanya. Saya yakin, para penduduk kampung idiot bahkan tidak dapat menemukan kata lagi untuk mendeskripsikan kehidupan mereka yang bukan hanya masalah finansial melainkan juga kejiwaan. Tulus, ikhlas, sabar, menerima kenyataan. Itulah pelajaran kedua dari penduduk kampong idiot yang tidak bisa dipelajari oleh para koruptor. Dimana hati para koruptor? Pertanyaan itu selalu muncul bila para koruptor tidak membuka pandangan untuk selalu melihat ke bawah.
Tuesday, January 25, 2011
Kasus Gayus. Kapan Berakhir ?
Kasus Gayus Tambunan seorang pegawai pajak Kemenkeu sudah menggegerkan Negara ini. Dia adalah orang pertama yang terekspos media secara heboh dalam urusan penggelapan pajak. Wajar bila masyarakat kemudian enggan membayar pajak dan menuntut adanya perincian pihak-pihak yang tergabung dalam kasus itu. Gayus Tambunan mengatakan bahwa dirinya adalah seekor teri, yang dapat diartikan bahwa negeri ini memiliki hiu atau paus dalam penggelapan pajak.
Teri, hiu, ataupun paus, yang pentig mereka adalah pengkhianat negara yang tanpa segan bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat kecil. Hukum memang seharusnya bertindak dan pimpinan Negara pun sewajibnya langsung turun tangan. Media massa memang telah mengabarkan bahwa para petinggi hokum sedang dalam proses membongkar kasus ini dan pimpinan Negara pun telah memberikan 12 poin instruksi. Dapat dikatakan sudah ada langkah untuk membongkar kasus ini. Namun yang perlu ditanyakan adalah kenapa pembahasan kasus yang sangat penting ini berlarut –larut (sejak pertengahan tahun lalu) dan malah ada sisipan berita-berita dari Istana yang terkesan tidak lebih penting dari kasus Gayus ini?
Setiap Negara tentu punya masalah yang selalu bermunculan. Namun, bila terdapat kasus sangat besar yang menyangkut kehidupan Negara, itulah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dalam rangkaian kasus ini saya malah melihat banyak kasus kecil yang terselip diantara cerita sang pegawai pajak, seperti Presiden membahas masalah RUUK DIY, blackberry, dan juga urusan gaji petinggi Negara. Kasus sisipan itu tentu membuat perhatian publik bergeser. Bisa jadi pergeseran perhatian masyarakat inilah yang diinginkan oleh pemerintah karena ketidakmampuan dalam menguak kasus. Ketidakmampuan dapat berarti memang Gayus terlalu cerdik sehingga dapat dengan mudahnya merampas uang Negara atau karena sebenarnya orang-orang penting Negara (yang disebut sebagai hiu dan paus) juga turut berperan? Entahlah. Memang paling tidak hanya kaum eksekutif dan Gayus sendiri yang mengetahui.
Sebagai rakyat biasa, saya jenuh dengan kasus ini. Kejenuhan tersebut juga mengarahkan pikiran saya untuk tidak percaya pada pemerintah. Jenuh tentu karena penyelesaian kasus ini sangat lama dan pemerintah nampaknya juga tidak memiliki niat serius untuk menyelesaikan kasus ini, terbukti dengan adanya pernyataan-pernyataan dari kasus lain yang tiba-tiba diangkat ke publik. Dalam kasus Gayus pemerintah terkesan tidak solutif, hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat normative tanpa mengalihkan perhatian ke para hiu dan paus pajak. Sangat wajar bila masyarakat kemudian bertindak acuh pada berbagai pemberitaan media karena berkurangnya rasa percaya pada pemerintah. Seluruh perhatian lapisan masyarakat Indonesia tertuju pada Gayus dan banyak dari mereka yang merasa dibodohi olehnya. Para komentator di media massa bahkan mengatakan bahwa negeri ini telah dipermainkan oleh orang sekecil Gayus. Mereka sama dengan saya. Geram saat mendengar berita tersebut, kesal saat mengetahui kasus tak kunjung selesai, dan marah saat belum ada pihak lain yang dijerat karena keterlibatannya dalam alur cerita Gayus Tambunan. Namun nampaknya kita hanya perlu menunggu, meski harus menunggu hingga waktu yang tidak ditentukan sambil berharap adanya kejelasan dan penindakan lanjut secara rinci dari kasus ini.
Teri, hiu, ataupun paus, yang pentig mereka adalah pengkhianat negara yang tanpa segan bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat kecil. Hukum memang seharusnya bertindak dan pimpinan Negara pun sewajibnya langsung turun tangan. Media massa memang telah mengabarkan bahwa para petinggi hokum sedang dalam proses membongkar kasus ini dan pimpinan Negara pun telah memberikan 12 poin instruksi. Dapat dikatakan sudah ada langkah untuk membongkar kasus ini. Namun yang perlu ditanyakan adalah kenapa pembahasan kasus yang sangat penting ini berlarut –larut (sejak pertengahan tahun lalu) dan malah ada sisipan berita-berita dari Istana yang terkesan tidak lebih penting dari kasus Gayus ini?
Setiap Negara tentu punya masalah yang selalu bermunculan. Namun, bila terdapat kasus sangat besar yang menyangkut kehidupan Negara, itulah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dalam rangkaian kasus ini saya malah melihat banyak kasus kecil yang terselip diantara cerita sang pegawai pajak, seperti Presiden membahas masalah RUUK DIY, blackberry, dan juga urusan gaji petinggi Negara. Kasus sisipan itu tentu membuat perhatian publik bergeser. Bisa jadi pergeseran perhatian masyarakat inilah yang diinginkan oleh pemerintah karena ketidakmampuan dalam menguak kasus. Ketidakmampuan dapat berarti memang Gayus terlalu cerdik sehingga dapat dengan mudahnya merampas uang Negara atau karena sebenarnya orang-orang penting Negara (yang disebut sebagai hiu dan paus) juga turut berperan? Entahlah. Memang paling tidak hanya kaum eksekutif dan Gayus sendiri yang mengetahui.
Sebagai rakyat biasa, saya jenuh dengan kasus ini. Kejenuhan tersebut juga mengarahkan pikiran saya untuk tidak percaya pada pemerintah. Jenuh tentu karena penyelesaian kasus ini sangat lama dan pemerintah nampaknya juga tidak memiliki niat serius untuk menyelesaikan kasus ini, terbukti dengan adanya pernyataan-pernyataan dari kasus lain yang tiba-tiba diangkat ke publik. Dalam kasus Gayus pemerintah terkesan tidak solutif, hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat normative tanpa mengalihkan perhatian ke para hiu dan paus pajak. Sangat wajar bila masyarakat kemudian bertindak acuh pada berbagai pemberitaan media karena berkurangnya rasa percaya pada pemerintah. Seluruh perhatian lapisan masyarakat Indonesia tertuju pada Gayus dan banyak dari mereka yang merasa dibodohi olehnya. Para komentator di media massa bahkan mengatakan bahwa negeri ini telah dipermainkan oleh orang sekecil Gayus. Mereka sama dengan saya. Geram saat mendengar berita tersebut, kesal saat mengetahui kasus tak kunjung selesai, dan marah saat belum ada pihak lain yang dijerat karena keterlibatannya dalam alur cerita Gayus Tambunan. Namun nampaknya kita hanya perlu menunggu, meski harus menunggu hingga waktu yang tidak ditentukan sambil berharap adanya kejelasan dan penindakan lanjut secara rinci dari kasus ini.
Thursday, January 6, 2011
Dream, Passion and Action
Here I am...sitting on my chair that I used to sit where I was in Jogja. My mind flies back to my last time when I was sitting on this chair at night to study, to get my dream. What a horrible memorable struggle to remember. I love flashback-ing on it.
Now I'm here with different status of academic, different dreams, different on some more things. I'm college student now, in university I dreamt about. My dreams now are not only for me myself but also for everyone around me. I get my new pattern of mind, which is broader. Then I realize that everyone changes with because of their struggle of life, they change as mature as they are, they change because time brings them to the future so they have to keep looking forward. What happens to people also happens to me. I feel it so deep inside.
Life is not easy. I know it, everyone around me does. With thousand dreams I have and my so so brain, I know that life's much more harder for someone like me. But one thing world should know: "I'm not a smart person, I'm not always the lucky no.1, I'm not the outstanding one at class, but I never lose my passion and I will never feel tired to get my dreams."
I can be dreaming. I'm able of doing it. But I dont wanna be a loser by letting go my dreams without make it real. I'm not afraid of dreaming and I must be brave to make it real whatever the way I choose, whatever the challenge I should take, whatever the time makes me wait........
The last one I said, it sounds hopeless. People tend to be as soon as possible to make their dremas come true. But it's not for me. I'm not thinking like that. For me, God has right in intervene our dreams. We're not alone in walking because God see us. God decides when our dreams suppose to come and suppose to be delayed.
Like I said, I have so many dreams but I haven't got one of them, the most difficult and the most valuable from me. Sometimes I think that I'm not worthed to hug my dream because until now I cant get it. But it will dissapear when I remember one of the best quote "Best gift needs time to be presented, God is creating that and consider what best for you....."
Dream needs loyality. It will never go if you never let it go, just keep it and let them alive in your heart and soul then they will create your passion. Dream creates passion in you then it just be up to you whether you want to make it come or not. If you want it to come, act as total as you can, struggle harder and harder to make they really come to you. It will come if you really want it then show your best effort to get them. One more thing. Try to beg on God with pray, then lucky will complete your struggle.
I try to keep it on my mind. I love my dreams, how beautiful I have build it and I dont want anyone to break it. God knows that. I've said many times to God....
Now I'm here with different status of academic, different dreams, different on some more things. I'm college student now, in university I dreamt about. My dreams now are not only for me myself but also for everyone around me. I get my new pattern of mind, which is broader. Then I realize that everyone changes with because of their struggle of life, they change as mature as they are, they change because time brings them to the future so they have to keep looking forward. What happens to people also happens to me. I feel it so deep inside.
Life is not easy. I know it, everyone around me does. With thousand dreams I have and my so so brain, I know that life's much more harder for someone like me. But one thing world should know: "I'm not a smart person, I'm not always the lucky no.1, I'm not the outstanding one at class, but I never lose my passion and I will never feel tired to get my dreams."
I can be dreaming. I'm able of doing it. But I dont wanna be a loser by letting go my dreams without make it real. I'm not afraid of dreaming and I must be brave to make it real whatever the way I choose, whatever the challenge I should take, whatever the time makes me wait........
The last one I said, it sounds hopeless. People tend to be as soon as possible to make their dremas come true. But it's not for me. I'm not thinking like that. For me, God has right in intervene our dreams. We're not alone in walking because God see us. God decides when our dreams suppose to come and suppose to be delayed.
Like I said, I have so many dreams but I haven't got one of them, the most difficult and the most valuable from me. Sometimes I think that I'm not worthed to hug my dream because until now I cant get it. But it will dissapear when I remember one of the best quote "Best gift needs time to be presented, God is creating that and consider what best for you....."
Dream needs loyality. It will never go if you never let it go, just keep it and let them alive in your heart and soul then they will create your passion. Dream creates passion in you then it just be up to you whether you want to make it come or not. If you want it to come, act as total as you can, struggle harder and harder to make they really come to you. It will come if you really want it then show your best effort to get them. One more thing. Try to beg on God with pray, then lucky will complete your struggle.
I try to keep it on my mind. I love my dreams, how beautiful I have build it and I dont want anyone to break it. God knows that. I've said many times to God....
Wednesday, November 17, 2010
Pembagian Daging Qurban --> Potret Kemiskinan atau Kerakusan?
Dalam Islam, Hari Raya Qurban adalah sebuah hari penting, selayaknya seperti Hari Raya Idul Fitri. Menyembelih hewan qurban bagi yang orang yang mampu secara finansial untuk kemudian dibagikan kepada orang yang tak mampu. Hal ini bertujuan untuk berbagi rejeki yang selama ini telah didapat dari Allah SWT. Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan setelah shalat ied berjamaah. Setelah disembelih, para warga miskin berhak mengambil jatah dagingnya dengan syarat menunjukkan kupon yang diterima pada hari-hari sebelumnya (peraturan semacam ini terdapat di sebagian besar daerah di Indonesia).
Pada perayaan semacam ini, stasiun televisi berlomba untuk menyiarkan berbagai hal seputar Hari Raya Qurban, mulai dari berita paling sederhana hingga kompleks, yang membutuhkan perhatian lebih. Berita yang membuat saya tak henti bertanya adalah mengenai berbagai kecelakaan dalam proses pengantrian untuk mengambil daging qurban. Pertanyan yang selalu ada dalam benak saya adalah:
1). tidak bisakah para pengantri sabar untuk menunggu giliran dipanggil namanya?
2). apakah ada sesuatu yang salah dari aparat dalam mengatur antrian itu?
3). mengapa para warga rela berdesak-desakan hingga susah nafas hanya untuk daging yang jumlahnya tidak sebanding dengan usahanya untuk antri?
4). inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia, hingga benar-benar tak mampu untuk mengonsumsi makanan bergizi?
5). atau itukah potret kerakusan masyarakat Indonesia, hingga rela menyiksa diri untuk mendapatkan sesuatu yang GRATIS? meskipun sebenarnya meraka sering mengonsumsinya
Antrian bejubel hingga melebihi kuota antrian yang diprediksi sebelumnya hingga setiap orang merasa kesulitan untuk bernafas tentu bukan hal yang sekali dua kali terjadi di negeri ini. Tak hanya pada pembagian daging qurban saat Idul Adha, namun juga saat pembagian zakat pada saat menjelang Idul Fitri atau "angpao" saat Idul Fitri. Bukan hanya berdesakan di tengah antrian bejubel, sering kali ada pengantri yang mendapat kecelakaan, seperti sesak nafas, lecet-lecet karena terseret-seret, atau bahkan parahnya lagi harus ada korban (meninggal) pada prosesi pembagian rejeki ini. Tentu hal tersebut sangat miris, mengingat niat awal yang positif dari para pengantri, yaitu berusaha untuk mengais rejeki.
Sebenarnya, bila disimak lebih rinci perbandingan hasil yang didapat dengan usaha untuk mengantri sangatlah jauh. Para warga sangat rela untuk mengeluarkan tenaga sedemikian rupa (ditambah kesengsaraan yang diterima), sedangkan rejeki yang didapat hanyalah sedikit, seperti 1 kg daging. Sepintas, mungkin 1 kg daging sangat bermakna, apalagi untuk kalangan orang miskin. Namun, tidak semua orang melihat bagaimana realita pembagian di lapangan. Orang harus berdesakan hingga kesulitan untuk bernafas, beruntung kalau tidak meninggal. Sehingga dapat disimpulkan biaya untuk mendapatkan daging memang Rp 0, tapi kalau biaya lain dihitung (seperti sesak nafas,dll) maka warga harus menanggung biaya lebih dari harga daging yang dibagikan.
Kembali ke pertanyaan saya di atas. Saya pikir ini adalah salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk tidak bisa menerapkan pelajaran "antri" dalam kehidupan nyata. Semenjak SD dalam pelajaran PKn selalu diajarkan untuk rapih dalam menunggu giliran (antri), namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukannya. Para warga terkadang tidak sabar untuk mendengar namanya disebut (atau takut kehabisan barang yang dibagikan?) sehingga maju ke depan hingga membuat orang-orang di depannya terdesak, dan akhirnya satu tempat pembagian riuh,penuh dan sesak oleh lautan manusia.
Setiap kegiatan pembagian pasti ada tim pengatur agar para pengantri dapat antri sesuai dengan peraturan. Mendengar berbagai kecelakaan terjadi dalam prosesi ini, saya pikir tidak bisa secara sepihak terus menerus menyalahkan aparat penegak peraturan bila yang diatur saja demikian. Tidak bisa tim pengatur berdiri sendiri dengan berbagai aturan yang telah mereka buat, sementara para pengantri tidak mau tunduk pada aturan tersebut.
Menuju petanyaan ketiga pada urutan pertanyaan yang saya ajukan di atas. Mengapa warga rela berdesak-desakan untuk barang yang tidak sebanding dengan usahanya mendapat barang tersebut? Hingga saat ini saya belum dapat memberikan jawaban pasti. Jawaban yang ada dalam pikiran saya mengenai pertanyaan ini masih prediksi belaka. Mungkin para pengantri sangat mengidamkan barang gratis (secara rupiah). Mungkin mereka memang benar ingin mengambil hak mereka. Mungkin karena mereka tidak bisa lagi menikmati barang itu dilain waktu. Bebarapa orang akan berpikir para pengantri adalah orang yang kurang kerjaan. Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan begitu saja karena sebenarnya orang-orang itu benar membutuhkannya.
Dengan ditayangkannya liputan tragis seputar pembagian daging qurban, pertanyaan utama dalam pikiran saya adalah "inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia? atau kerakusan? Keduanya berbeda sangat tipis bila ditelaah kembali.
Orang yang seharusnya mengantri dalam proses pembagian tersebut adalah orang miskin, yang benar-benar membutuhkan santunan. Namun, saya tidak yakin dengan teori tersebut, karena masih banyak watak masyarakat kita yang sangat suka dengan sesuatu Rp 0-->GRATIS. Masih banyak orang Indonesia yang berpikir aneh, seperti "maju bila ada pembagiaan, mundur bila ada pemungutan", juga masih banyak orang Indonesia yang bertindak tidak masuk akal dengan melakukan kegiatan yang sebenarnya keuntungan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Cukuplah bukti di lapangan (bagi saya) untuk mengatakan bahwa tidak semua yang ada di tempat pembagian adalah orang miskin. Bila begitu, orang yang tidak miskin ini sebenarnya memang mengaku (berpura-pura) miskin atau mengutamakan kerakusan belaka?. Saya pikir kerakusan memegang kendali pada orang-orang tersebut dalam situasi seperti ini. Bagaimana tidak? orang-orang yang mengaku miskin hanya ingin merasakan barang gratis, padahal mereka sudah pernah merasakan barangnya dan cukup mampu untuk membelinya.
Sekarang kita melihat kondisi itu tanpa melibatkan orang yang berpura-pura miskin di dalamnya, hanya mengasumsikan bahwa hanya ada orang miskin di dalamnya. Bisa dikatakan tingkat kemiskinan negri ini sudah akut karena bahkan hanya untuk membeli makanan bergizi saja tidak mampu. Sangat disayangkan. Kemiskinan yang pada akhirnya membuat orang berpikir tidak rasional sehingga berani untuk (secara tidak disadari) menyiksa diri sendiri. Bisa jadi juga dengan terbelitnya kemiskinan mereka juga bertindak rakus. Orang miskin bukan tidak mungkin bertindak rakus, karena sebenarnya mereka takut untuk masuk ke jurang kemiskinan lebih dalam, oleh karena itu mereka berusaha untuk mendapatkan lebih (apapun caranya). Dan bila orang mampu bertindak rakus, mungkin karena mereka tidak ingin kembali mendapatkan masa miskinnya atau ingin menikmati sesuatu yang lebih.
Yang jelas, drama pembagian rejeki (seperti hewan qurban)adalah drama yang membuat saya terus bertanya, "Apakah di tempat itu semuanya orang miskin? Jika begitu, separah itukah potret kemiskinan tanah air ini? Jika di tempat itu tidak semua orang miskin, maka separah itukah kerakusan para masyarakat Indonesia?"
Yang sangat perlu dipikirkan ulang oleh seluruh masyarakat adalah bahwa sebenarnya mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dari harga daging, yang berarti pembagian tersebut tidak GRATIS-->Rp 0. Mereka menganggap pembagian tersebut gratis karena tidak mencantumkan unsur berdesakan, sesak nafas, lecet-lecet, dan pertaruhan nyawa.
Pada perayaan semacam ini, stasiun televisi berlomba untuk menyiarkan berbagai hal seputar Hari Raya Qurban, mulai dari berita paling sederhana hingga kompleks, yang membutuhkan perhatian lebih. Berita yang membuat saya tak henti bertanya adalah mengenai berbagai kecelakaan dalam proses pengantrian untuk mengambil daging qurban. Pertanyan yang selalu ada dalam benak saya adalah:
1). tidak bisakah para pengantri sabar untuk menunggu giliran dipanggil namanya?
2). apakah ada sesuatu yang salah dari aparat dalam mengatur antrian itu?
3). mengapa para warga rela berdesak-desakan hingga susah nafas hanya untuk daging yang jumlahnya tidak sebanding dengan usahanya untuk antri?
4). inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia, hingga benar-benar tak mampu untuk mengonsumsi makanan bergizi?
5). atau itukah potret kerakusan masyarakat Indonesia, hingga rela menyiksa diri untuk mendapatkan sesuatu yang GRATIS? meskipun sebenarnya meraka sering mengonsumsinya
Antrian bejubel hingga melebihi kuota antrian yang diprediksi sebelumnya hingga setiap orang merasa kesulitan untuk bernafas tentu bukan hal yang sekali dua kali terjadi di negeri ini. Tak hanya pada pembagian daging qurban saat Idul Adha, namun juga saat pembagian zakat pada saat menjelang Idul Fitri atau "angpao" saat Idul Fitri. Bukan hanya berdesakan di tengah antrian bejubel, sering kali ada pengantri yang mendapat kecelakaan, seperti sesak nafas, lecet-lecet karena terseret-seret, atau bahkan parahnya lagi harus ada korban (meninggal) pada prosesi pembagian rejeki ini. Tentu hal tersebut sangat miris, mengingat niat awal yang positif dari para pengantri, yaitu berusaha untuk mengais rejeki.
Sebenarnya, bila disimak lebih rinci perbandingan hasil yang didapat dengan usaha untuk mengantri sangatlah jauh. Para warga sangat rela untuk mengeluarkan tenaga sedemikian rupa (ditambah kesengsaraan yang diterima), sedangkan rejeki yang didapat hanyalah sedikit, seperti 1 kg daging. Sepintas, mungkin 1 kg daging sangat bermakna, apalagi untuk kalangan orang miskin. Namun, tidak semua orang melihat bagaimana realita pembagian di lapangan. Orang harus berdesakan hingga kesulitan untuk bernafas, beruntung kalau tidak meninggal. Sehingga dapat disimpulkan biaya untuk mendapatkan daging memang Rp 0, tapi kalau biaya lain dihitung (seperti sesak nafas,dll) maka warga harus menanggung biaya lebih dari harga daging yang dibagikan.
Kembali ke pertanyaan saya di atas. Saya pikir ini adalah salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk tidak bisa menerapkan pelajaran "antri" dalam kehidupan nyata. Semenjak SD dalam pelajaran PKn selalu diajarkan untuk rapih dalam menunggu giliran (antri), namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukannya. Para warga terkadang tidak sabar untuk mendengar namanya disebut (atau takut kehabisan barang yang dibagikan?) sehingga maju ke depan hingga membuat orang-orang di depannya terdesak, dan akhirnya satu tempat pembagian riuh,penuh dan sesak oleh lautan manusia.
Setiap kegiatan pembagian pasti ada tim pengatur agar para pengantri dapat antri sesuai dengan peraturan. Mendengar berbagai kecelakaan terjadi dalam prosesi ini, saya pikir tidak bisa secara sepihak terus menerus menyalahkan aparat penegak peraturan bila yang diatur saja demikian. Tidak bisa tim pengatur berdiri sendiri dengan berbagai aturan yang telah mereka buat, sementara para pengantri tidak mau tunduk pada aturan tersebut.
Menuju petanyaan ketiga pada urutan pertanyaan yang saya ajukan di atas. Mengapa warga rela berdesak-desakan untuk barang yang tidak sebanding dengan usahanya mendapat barang tersebut? Hingga saat ini saya belum dapat memberikan jawaban pasti. Jawaban yang ada dalam pikiran saya mengenai pertanyaan ini masih prediksi belaka. Mungkin para pengantri sangat mengidamkan barang gratis (secara rupiah). Mungkin mereka memang benar ingin mengambil hak mereka. Mungkin karena mereka tidak bisa lagi menikmati barang itu dilain waktu. Bebarapa orang akan berpikir para pengantri adalah orang yang kurang kerjaan. Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan begitu saja karena sebenarnya orang-orang itu benar membutuhkannya.
Dengan ditayangkannya liputan tragis seputar pembagian daging qurban, pertanyaan utama dalam pikiran saya adalah "inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia? atau kerakusan? Keduanya berbeda sangat tipis bila ditelaah kembali.
Orang yang seharusnya mengantri dalam proses pembagian tersebut adalah orang miskin, yang benar-benar membutuhkan santunan. Namun, saya tidak yakin dengan teori tersebut, karena masih banyak watak masyarakat kita yang sangat suka dengan sesuatu Rp 0-->GRATIS. Masih banyak orang Indonesia yang berpikir aneh, seperti "maju bila ada pembagiaan, mundur bila ada pemungutan", juga masih banyak orang Indonesia yang bertindak tidak masuk akal dengan melakukan kegiatan yang sebenarnya keuntungan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Cukuplah bukti di lapangan (bagi saya) untuk mengatakan bahwa tidak semua yang ada di tempat pembagian adalah orang miskin. Bila begitu, orang yang tidak miskin ini sebenarnya memang mengaku (berpura-pura) miskin atau mengutamakan kerakusan belaka?. Saya pikir kerakusan memegang kendali pada orang-orang tersebut dalam situasi seperti ini. Bagaimana tidak? orang-orang yang mengaku miskin hanya ingin merasakan barang gratis, padahal mereka sudah pernah merasakan barangnya dan cukup mampu untuk membelinya.
Sekarang kita melihat kondisi itu tanpa melibatkan orang yang berpura-pura miskin di dalamnya, hanya mengasumsikan bahwa hanya ada orang miskin di dalamnya. Bisa dikatakan tingkat kemiskinan negri ini sudah akut karena bahkan hanya untuk membeli makanan bergizi saja tidak mampu. Sangat disayangkan. Kemiskinan yang pada akhirnya membuat orang berpikir tidak rasional sehingga berani untuk (secara tidak disadari) menyiksa diri sendiri. Bisa jadi juga dengan terbelitnya kemiskinan mereka juga bertindak rakus. Orang miskin bukan tidak mungkin bertindak rakus, karena sebenarnya mereka takut untuk masuk ke jurang kemiskinan lebih dalam, oleh karena itu mereka berusaha untuk mendapatkan lebih (apapun caranya). Dan bila orang mampu bertindak rakus, mungkin karena mereka tidak ingin kembali mendapatkan masa miskinnya atau ingin menikmati sesuatu yang lebih.
Yang jelas, drama pembagian rejeki (seperti hewan qurban)adalah drama yang membuat saya terus bertanya, "Apakah di tempat itu semuanya orang miskin? Jika begitu, separah itukah potret kemiskinan tanah air ini? Jika di tempat itu tidak semua orang miskin, maka separah itukah kerakusan para masyarakat Indonesia?"
Yang sangat perlu dipikirkan ulang oleh seluruh masyarakat adalah bahwa sebenarnya mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dari harga daging, yang berarti pembagian tersebut tidak GRATIS-->Rp 0. Mereka menganggap pembagian tersebut gratis karena tidak mencantumkan unsur berdesakan, sesak nafas, lecet-lecet, dan pertaruhan nyawa.
Saturday, November 13, 2010
Un Soir du Paris
Kalimat tersebut tidak berarti saya pernah menikmati sore hari menunggu tenggelamnya sang fajar di kota impian saya, Paris. Kalimat tersebut adalah penggalan judul buku berisi kumpulan cerpen yang saya baca, diterbitkan oleh Gramedia. Penulis novel-novel ternama seperti Clara Ng menghiasi beberapa lembar dari buku tersebut.
Sebenarnya saya bukan penggemar fanatik dari novel-novel fiksi. Namun, untuk novel fiksi kali ini, Un Soir du Paris, saya merasa ada hal-hal yang sangat terkait dan mendekati kehidupan nyata, bahkan dapat dikatakan novel tersebut merupakan gambaran kehidupan nyata.
Bercerita mengenai kehidupan para manusia yang hidup dengan suatu penyakit psikis (jika itu dapat disebut sebagai sebuah penyakit), orientasi seksual yang menyimpang (jika itu dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan), dan hidup dengan tekanan dari masyarakat sekitar. Ya, saya berbicara mengenai penyuka sesama jenis, gay atau lesbian.
Dalam buku itu diceritakan bahwa para penyuka sesama jenis tersebut mengaku terang-terangan di hadapan masyarakat dan tidak mengaku, sekalipun pada teman dekatnya sendiri. Hal ini tentu menjadi pro kontra berlanjut jika dijadikan topik pembicaraan publik. Seputar kelayakan mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Kebanyakan orang akan mengaitkan ketidaksesuaian hal tersebut dengan nilai agama, budaya serta moral. Sehingga para penyuka sesama jenis mendapat tekanan yang luar biasa dari masyarakat. Beruntung bila hanya dibicarakan. Kebanyakan dari mereka disingkirkan dan sedikit ada orang yang mau mendekat karena dianggap mereka telah melakukan penyimpangan sosial. Anggapan dan tindakan masyarakat tersebut memang terkesan berlebihan, seperti tidak menghormati kebebasan orang hidup. Itulah yang diceritakan dalam buku.
Bila dikaitkan dengan kehidupan nyata, memang tidak berbeda. Beberapa teman saya adalah penyuka sesama jenis. Mereka tidak mau kehidupan mereka disorot oleh masyarakat karena tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu, sehingga hanya menceritakan hal tersebut ke teman-teman terdekatnya saja. Bagaimana dengan orang tua? Teman-teman saya menjawab mereka mencari saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut pada orang tua, beberapa mengatakan hal ini adalah sangat rahasia dan jangan sampai orang tua tahu sedikit pun. Tidak ingin membuat orang tua bersedih, itulah alasannya. Tidak berbeda dengan novel yang saya baca, sehingga dapat dikatakan bahwa novel ini adalah gambaran nyata suatu kehidupan.
Izinkan Mereka Diterima di Bumi Ini!
Bukan sesuatu yang salah, meskipun sebagian orang mengatakan hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan seksual. Saya cukup menghormati perasaan tersebut, meskipun saya bukan penyuka sesama jenis dan selalu memohon perlindungan-Nya untuk berada dalam jalan yang wajar (menyukai pria). Bisa dikatakan para penyuka sesama jenis tersebut tidak berada dalam jalan wajar, jalan yang mana wanita hanya menyukai pria dan pria hanya menyukai wanita. Namun sekali lagi, mereka tidak salah. Semenjak lahir para orang tua dan mereka sendiri pun tentu berharap menjadi manusia yang hidup di jalan lurus, seperti orang kebanyakan, termasuk dalam hal percintaan untuk menyukai lawan jenis. Penyimpangan menjadi seorang gay atau lesbian mungkin karena “kecelakaan” belaka, dalam arti mereka masuk ke dunia itu tanpa disangka-sangka sebelumnya dan juga sebagai suatu hal yang tidak diinginkan. Lama kelamaan bagi mereka sendiri akan menjadi sebuah naluri.
Mereka tidak salah dan justru senang dengan kehidupanyya. Tapi yang menjadi suatu ganjalan adalah caci maki dan tekanan masyarakat sekitar mereka. Masyarakat adalah golongan yang dekat dengan kehidupan setiap individu. Ketika masyarakat pun sudah mengecam, maka kemana lagi mereka harus berlindung? Tidak mungkin mereka akan terus-terusan berinteraksi dengan keluarga saja.
Saya pun tidak menyalahkan masyarakat atas pemikirannya. Meskipun sangat menyangkan hal tersebut. Saya menyayangkan pemikiran masyarakat yang tidak mencoba untuk melihat dari lain sisi, bila mereka menjadi seorang penyuka sesama jenis. Pemikiran yang menurut saya terlalu sempit karena langsung menghakimi suatu hal tanpa melihat latar belakang dan alasan. Sangat disayangkan bahwa pemikiran mereka sangat normatif, sesuai dengan apa yang seharusnya pada ajaran agama dan tatanan moral. Seperti yang saya katakan, para gay dan lesbian pun tidak menginginkan terjun dalam dunia tersebut, mereka ingin seperti kebanyakan orang yang hidup dalam jalur wajar. Namun, “kecelakaan” (sesuatu yang sama sekali tidak disangka) membawa mereka ke dalam dunia tersebut. Tentu sangat berat ketika harus menerima sanksi masyarakat yang sedemikian beratnya (dijauhi, dikucilkan). Meski begitu, beberapa dari para gay dan lesbian tidak dapat mengubah orientasi tersebut karena telah menjadi sebuah naluri. Beruntung bagi sebagian gay dan lesbian yang dapat keluar meninggalkan perasaan tersebut. Namun bagi yang tidak bisa, mereka hanya akan terus berpikir bahwa masyarakat adalah musuh.
Saya pikir masyarakat harus membuka pikiran lebih luas untuk menghormati pilihan para penyuka sesama jenis. Gay dan lesbian hanya butuh dihormati. Masyarakat tidak perlu berusaha untuk mengubah para penyuka sesama jenis, karena mayoritas dari mereka adalah orang dewasa yang dapat berpikir dan mengetahui peraturan dalam agama, khususnya. Mengenai perubahan pada diri gay dan lesbian, hanya diri mereka sendiri yang dapat mengubahnya. Sekuat apa pun dorongan masyarakat untuk mengubahnya, perasaan tersebut tidak akan hilang karena telah menjadi naluri.
Izinkanlah mereka untuk bergabung kembali dalam masyarakat, karena setiap orang membutuhkan masyarakat. Hormati mereka seperti layaknya orang biasa, karena pada dasarnya setiap manusia hanya ingin dihormati dan dihargai pilihan hidupnya. Menurut saya, tidak ada pilihan hidup yang salah. Hanya mungkin, pilihan mereka berada dalam jalur yang tidak biasa dipilih oleh orang lain. Selama pilihan mereka tidak mengganggu orang lain, maka layaklah mereka untuk mendapat penghormatan tersebut. Saya berpikir mereka bukan seperti monster yang sedang mencari mangsa, karena mereka hanya akan suka pada orang yang memiliki orientasi yang sama. Rangkul mereka dalam kehidupan bersama karena mereka pasti juga memiliki beragam sisi positif yang tidak diketahui oleh masyarakat. Menjadi gay dan lesbi bukan keninginan mereka sejak awal. Kejadiaan tak disangka yang kemudian menjadi sebuah pilihan hidup berdasarkan naluri yang mereka miliki. Namun, bukan berarti pilihan tersebut tidak dapat mereka ubah……… Oleh karena itu, jangan singkirkan mereka, rangkul mereka dalam kebersamaan, beruntunglah apabila mereka menemukan sebuah pencerahan dari dalam hati yang terdalam untuk kembali ke jalan wajar. Izinkanlah mereka untuk dapat terus menapak di bumi ini tanpa ada suatu penolakan apapun.
Sebenarnya saya bukan penggemar fanatik dari novel-novel fiksi. Namun, untuk novel fiksi kali ini, Un Soir du Paris, saya merasa ada hal-hal yang sangat terkait dan mendekati kehidupan nyata, bahkan dapat dikatakan novel tersebut merupakan gambaran kehidupan nyata.
Bercerita mengenai kehidupan para manusia yang hidup dengan suatu penyakit psikis (jika itu dapat disebut sebagai sebuah penyakit), orientasi seksual yang menyimpang (jika itu dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan), dan hidup dengan tekanan dari masyarakat sekitar. Ya, saya berbicara mengenai penyuka sesama jenis, gay atau lesbian.
Dalam buku itu diceritakan bahwa para penyuka sesama jenis tersebut mengaku terang-terangan di hadapan masyarakat dan tidak mengaku, sekalipun pada teman dekatnya sendiri. Hal ini tentu menjadi pro kontra berlanjut jika dijadikan topik pembicaraan publik. Seputar kelayakan mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Kebanyakan orang akan mengaitkan ketidaksesuaian hal tersebut dengan nilai agama, budaya serta moral. Sehingga para penyuka sesama jenis mendapat tekanan yang luar biasa dari masyarakat. Beruntung bila hanya dibicarakan. Kebanyakan dari mereka disingkirkan dan sedikit ada orang yang mau mendekat karena dianggap mereka telah melakukan penyimpangan sosial. Anggapan dan tindakan masyarakat tersebut memang terkesan berlebihan, seperti tidak menghormati kebebasan orang hidup. Itulah yang diceritakan dalam buku.
Bila dikaitkan dengan kehidupan nyata, memang tidak berbeda. Beberapa teman saya adalah penyuka sesama jenis. Mereka tidak mau kehidupan mereka disorot oleh masyarakat karena tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu, sehingga hanya menceritakan hal tersebut ke teman-teman terdekatnya saja. Bagaimana dengan orang tua? Teman-teman saya menjawab mereka mencari saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut pada orang tua, beberapa mengatakan hal ini adalah sangat rahasia dan jangan sampai orang tua tahu sedikit pun. Tidak ingin membuat orang tua bersedih, itulah alasannya. Tidak berbeda dengan novel yang saya baca, sehingga dapat dikatakan bahwa novel ini adalah gambaran nyata suatu kehidupan.
Izinkan Mereka Diterima di Bumi Ini!
Bukan sesuatu yang salah, meskipun sebagian orang mengatakan hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan seksual. Saya cukup menghormati perasaan tersebut, meskipun saya bukan penyuka sesama jenis dan selalu memohon perlindungan-Nya untuk berada dalam jalan yang wajar (menyukai pria). Bisa dikatakan para penyuka sesama jenis tersebut tidak berada dalam jalan wajar, jalan yang mana wanita hanya menyukai pria dan pria hanya menyukai wanita. Namun sekali lagi, mereka tidak salah. Semenjak lahir para orang tua dan mereka sendiri pun tentu berharap menjadi manusia yang hidup di jalan lurus, seperti orang kebanyakan, termasuk dalam hal percintaan untuk menyukai lawan jenis. Penyimpangan menjadi seorang gay atau lesbian mungkin karena “kecelakaan” belaka, dalam arti mereka masuk ke dunia itu tanpa disangka-sangka sebelumnya dan juga sebagai suatu hal yang tidak diinginkan. Lama kelamaan bagi mereka sendiri akan menjadi sebuah naluri.
Mereka tidak salah dan justru senang dengan kehidupanyya. Tapi yang menjadi suatu ganjalan adalah caci maki dan tekanan masyarakat sekitar mereka. Masyarakat adalah golongan yang dekat dengan kehidupan setiap individu. Ketika masyarakat pun sudah mengecam, maka kemana lagi mereka harus berlindung? Tidak mungkin mereka akan terus-terusan berinteraksi dengan keluarga saja.
Saya pun tidak menyalahkan masyarakat atas pemikirannya. Meskipun sangat menyangkan hal tersebut. Saya menyayangkan pemikiran masyarakat yang tidak mencoba untuk melihat dari lain sisi, bila mereka menjadi seorang penyuka sesama jenis. Pemikiran yang menurut saya terlalu sempit karena langsung menghakimi suatu hal tanpa melihat latar belakang dan alasan. Sangat disayangkan bahwa pemikiran mereka sangat normatif, sesuai dengan apa yang seharusnya pada ajaran agama dan tatanan moral. Seperti yang saya katakan, para gay dan lesbian pun tidak menginginkan terjun dalam dunia tersebut, mereka ingin seperti kebanyakan orang yang hidup dalam jalur wajar. Namun, “kecelakaan” (sesuatu yang sama sekali tidak disangka) membawa mereka ke dalam dunia tersebut. Tentu sangat berat ketika harus menerima sanksi masyarakat yang sedemikian beratnya (dijauhi, dikucilkan). Meski begitu, beberapa dari para gay dan lesbian tidak dapat mengubah orientasi tersebut karena telah menjadi sebuah naluri. Beruntung bagi sebagian gay dan lesbian yang dapat keluar meninggalkan perasaan tersebut. Namun bagi yang tidak bisa, mereka hanya akan terus berpikir bahwa masyarakat adalah musuh.
Saya pikir masyarakat harus membuka pikiran lebih luas untuk menghormati pilihan para penyuka sesama jenis. Gay dan lesbian hanya butuh dihormati. Masyarakat tidak perlu berusaha untuk mengubah para penyuka sesama jenis, karena mayoritas dari mereka adalah orang dewasa yang dapat berpikir dan mengetahui peraturan dalam agama, khususnya. Mengenai perubahan pada diri gay dan lesbian, hanya diri mereka sendiri yang dapat mengubahnya. Sekuat apa pun dorongan masyarakat untuk mengubahnya, perasaan tersebut tidak akan hilang karena telah menjadi naluri.
Izinkanlah mereka untuk bergabung kembali dalam masyarakat, karena setiap orang membutuhkan masyarakat. Hormati mereka seperti layaknya orang biasa, karena pada dasarnya setiap manusia hanya ingin dihormati dan dihargai pilihan hidupnya. Menurut saya, tidak ada pilihan hidup yang salah. Hanya mungkin, pilihan mereka berada dalam jalur yang tidak biasa dipilih oleh orang lain. Selama pilihan mereka tidak mengganggu orang lain, maka layaklah mereka untuk mendapat penghormatan tersebut. Saya berpikir mereka bukan seperti monster yang sedang mencari mangsa, karena mereka hanya akan suka pada orang yang memiliki orientasi yang sama. Rangkul mereka dalam kehidupan bersama karena mereka pasti juga memiliki beragam sisi positif yang tidak diketahui oleh masyarakat. Menjadi gay dan lesbi bukan keninginan mereka sejak awal. Kejadiaan tak disangka yang kemudian menjadi sebuah pilihan hidup berdasarkan naluri yang mereka miliki. Namun, bukan berarti pilihan tersebut tidak dapat mereka ubah……… Oleh karena itu, jangan singkirkan mereka, rangkul mereka dalam kebersamaan, beruntunglah apabila mereka menemukan sebuah pencerahan dari dalam hati yang terdalam untuk kembali ke jalan wajar. Izinkanlah mereka untuk dapat terus menapak di bumi ini tanpa ada suatu penolakan apapun.
Subscribe to:
Posts (Atom)