Thursday, November 4, 2010

Dalam Kepalsuan

Kompas (3/11/2010). Berita 1: Presiden SBY mengunjungi barak pengungsian merapi. Berita 2: RI 1 datang, barak berubah. Berita 3: Anak-anak sekolah dilatih menyambut kedatangan presiden. Berita 4: Dikunjungi SBY, jalan sudah tidak becek. Liputan6.com: Sambut SBY, pengungsi dipinjami kasur.

Itulah inti berita yang saya baca di media masa. Membaca berita tersebut entah mengapa ada perasaan janggal pada diri saya, dan berpikir pihak mana yang sebenarnya bodoh. Apakah pihak masyarakat yang sangat terobsesi untuk menyenangkan tamu atau pihak kepresidenan yang memaksa masyarakat untuk bertindak baik (seolah-olah tidak ada apa-apa) sekalipun saat kondisi bumi sedang genting. Berita tersebut tentu sangat menarik bagi saya.

Saya yakin, hal tersebut bukan pertama kali yang dilakukan oleh masyarakat (korban bencana) saat akan dikunjungi oleh presiden. Sebelumnya, presiden juga pernah mengunjungi suatu daerah di Sulawesi. Presiden akan turun langsung untuk melihat kondisi masyarakat di sana, di daerah perkampungan kumuh yang tentu banyak aktivitas rumah tangga. Perkampungan kumuh yang mana kampung tersebut sebenarnya terlalu sempit untuk menampung jumlah manusia. Banyak jemuran warga bergelantungan di depan rumah dan barang tersebut harus disingkirkan karena presiden hendak datang. Sehingga presiden akan melihat bahwa kampung tersebut sangat indah, tertata, dan orang-orang di dalamnya pun makmur.

Pertanyaan pun muncul dalam benak saya. Sebenarnya, siapa yang mengatur ini semua? Apakah kepala kelompok masyarakat atau bawahan presiden? Atau keduanya? Hati dan pikiran saya lebih cenderung pada pilihan jawaban yang terakhir. Keduanya. Bawahan presiden tentu tidak ingin dimarahi (oleh atasannya) dalam bekerja secara teknis mengurusi kawasan dan korban bencana alam. Oleh karena itu, para bawahan tersebut meminta pada masyarakat untuk bertindak seolah-olah mereka baik-baik saja, seolah-olah mereka tidak dalam kondisi sebagai korban bencana alam. Permintaan tersebut ditanggapi oleh masyarakat, mereka menjalankan permintaan (instruksi) tersebut. Ditambah lagi dengan alasan masyarakat senang untuk menyenangkan tamu, apalagi tamu besar. Gayung bersambut. Bawahan presiden mengatur, korban bencana menjalankan, sehingga terciptalah kondisi palsu. Dan hal tersebut sudah lumrah terjadi, meskipun memancing emosi orang yang peka. Kepalsuan.

Seandainya berbagai pihak dapat berpikir logis, tidak menyertakan pemikiran untuk menyenangkan tamu atau agar tidak ditegur oleh atasan, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Bila mereka berpikir logis, mereka akan membiarkan kondisi tersebut layaknya daerah yang dihuni oleh orang-orang yang terkena bencana alam. Mereka akan mengijinkan presiden untuk melihat hal nyata yang sebenarnya terjadi, bukan hal yang ditambah atau dikurangi. Tapi pengandaian itu tidak terjadi.

Sebenarnya ini benar-benar kesempatan bagi masyarakat untuk benar-benar menunjukkan bahwa daerah tersebut tidak baik-baik saja. Setidaknya dengan hal yang tidak ditutupi presiden diharapkan akan mampu membuat suatu tindakan cepat. Setidaknya dengan hal ini masyarakat dapat menginspirasi presiden untuk selalu terjun ke lapangan dalam membuat berbagai kebijakan sehingga beliau akan melihat secara langsung kondisi nyata dan tidak hanya sebatas membaca data.

Namun, pentingnya menunjukkan kondisi nyata belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat dan para bawahan presiden yang takut ditegur (pengecut). Mereka memilih untuk menyenangkan diri presiden daripada mengamankan diri mereka sendiri, entah itu terpaksa atau tidak. Saya pribadi sangat menyesalkan adanya kepalsuan, terlebih kepalsuan tersebut terjadi di tengah bencana alam yang melanda. Saya membayangkan bagaimana reaksi presiden ketika melihat perbedaan antara menengok daerah secara langsung dengan berita yang dibaca di koran dan menghiasi layar televisinya. Sungguh informasi yang sangat berbeda. Perilaku masyarakat untuk mematuhi tradisi menyenangkan tamu tentu sulit diubah. Begitu pula dengan para bawahan yang tidak ingin ditegur oleh sang presiden. Lalu, sampai kapan bangsa ini akan larut dalam kepalsuan?

No comments:

Post a Comment