Friday, November 5, 2010

Surat untuk Yogyakarta (bagian 2)



Kla Project - Yogyakarta

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…



Itulah lirik lagu Yogyakarta dari Kla Project. Membuat saya bernostalgia tentang kota asal saya, tempat saya dibesarkan.
Benar. Saat mendengar musisi jalanan beraksi dan menyaksikan kaki lima menyajikan sajian khas berselera, saat itulah saya benar-benar merasa tentram.
Berjalan di tepian Jalan Malioboro, melewati depan Benteng Vendenburg dilanjutkan Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia. Sungguh membuat saya berada dalam balutan kebudayaan tradisional yang tidak lekang oleh waktu meski banyak budaya luar masuk ke kota ini. Belum lagi ditambah dengan sikap masyarakat ramah yang Njawani, berkarakter orang Jawa selayaknya.
Mengenang daerah asal memang tidak ada habisnya. Selalu ada ingatan-ingatan yang kemudian muncul, mengingatkan lebih rinci akan berbagai hal yang telah dilakukan di kota tersebut. Kota yang indah, dikunjungi oleh turis dari berbagai belahan dunia karena budayanya, dengan suasana tradisional di berbagai sudut kota. Sungguh, tidak akan terlupakan.
Namun, kenangan itu berubah menjadi rasa sedih berkepanjangan sejak tanggal 26 Oktober 2010. Merapi, sebagai gunung aktif di DIY melakukan aktivitasnya. Banyak korban tertelan olehnya. Hujan abu, pasir,krikil dan suara perut bumi pun terdengar dari Kota Yogyakarta.
Kota berubah menjadi putih (keabu-abuan) dan berdebu. Keadaan sangat mencekam, tidak seperti Kota Yogyakarta yang biasa saya kenal sebagai kota bersahabat dan ramah. Sungguh mengejutkan, mengingat jarak merapi yang berada di daerah Sleman lumayan jauh dengan kota, meski keduanya masih berada dalam satu provinsi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta tidak lagi seperti sebelumnya. Saat ini kota tersebut sangat berdebu, kehilangan jiwa budayanya, kehilangan aktivitas warga dengan lalu lalang para turis. Meski begitu, beberapa kerabat saya mengatakan terdapat suasana mistis di kota ini. Berhubungan dengan Keraton dan makhluk lainnya. Hal yang sebenarnya tidak logis untuk dinalar, namun itulah sepenggal kepercayaan sebagian orang Yogyakarta.
Bencana Merapi memang sangat memprihatinkan seperti yang bisa dilihat di televisi. Suasana Yogyakarta dan sekitarnya pun turut mencekam, tidak ada yang mampu melawan gejolak alam tersebut.
Segenting apapun keadaannya, separah apapun jadinya kota ini, saya tidak akan pernah lelah dan bosan merindukan kota ini. Merapi memang membuat saya sangat sedih karena kota saya terkena dampaknya, banyak orang menjadi korban dan banyak orang pergi untuk keamanan. Namun, hal itu tidak menghalangi saya untuk memendam dan menjalankan keinginan kuat kembali ke kota tercinta. Akan selalu saya rindukan dan saya yakin bencana ini akan segera berakhir, hingga mengukir Kota Yogyakarta kembali indah seperti sedia kala.

No comments:

Post a Comment