Thursday, November 4, 2010

“Lebay” dalam Pendidikan Indonesia

ditulis: 16 Juni 2010

Orang bisa bertanya-tanya pada judul yang saya angkat di atas. Memangnya dari pendidikan Indonesia apa yang berlebihan? Namun pertanyaan ini akan segera terjawab ketika orang sudah melihat bagaimana cara pelajar Indonesia menuntut ilmu. Dengan memperhatikan secara rinci, maka orang akan berpikir bahwa pendidikan Indonesia benar-benar dapat menyebabkan pertumbuhan psikis yang tidak sempurna. Saya memang bukan pakar pendidikan yang tahu sistem pendidikan yang pas untuk negara ini. Meskipun demikian, selama ini saya bersekolah di Indonesia sehingga saya tahu bagaimana rasanya menempuh pendidikan di negri ini. Bukan hanya kekurangan yang terasa, namun juga kelebihan yang sangat berlabihan, yang justru membuat siswa tidak nyaman.
Pertama. Saya cukup tercengan ketika melihat anak-anak sekolahan sudah mulai memadati jalanan Kota Jakarta pada pukul 05.30 WIB. Bukan karena letak sekolah mereka yang jauh sehingga mereka harus berangkat lebih awal ke sekolah, melainkan karena jadwal sekolah yang dimajukan oleh Pemda menjadi pukul 06.30 ke rumah pada pukul 15.00. Sementara itu mereka baru bisa pulang Pemda sebagai pihak yang mengatur hal ini mengatakan agar kualitas SDM meningkat akibat banyaknya waktu yang dialokasikan untuk menuntut ilmu. Secara logika, peningkatan alokasi waktu untuk belajar memang berpotensi untuk meningkatkan kualitas SDM. Namun, bila terlalu banyak waktu yang disediakan untuk memaksa siswa belajar bukankah waktu tersebut akan menjadi bias? Dalam arti waktu yang dialokasikan akan sia-sia karena sesungguhnya kemampuan otak siswa untuk menangkap pelajaran sudah tidak maksimal. Dengan begitu maka tentunya akan terjadi inefisiensi karena otak sudah tidak mampu, namun masih dipaksakan. Seharusnya sebagian dari waktu tersebut dapat digunakan untuk mengasah kemampuan non-akademis, tetapi yang terjadi sebaliknya. Waktu untuk mengasah kemampuan non-akademis pun berkurang, sementara itu kecerdasan intelektual tidak maksimal.
Kedua. Hal yang paling saya ingat ketika saya duduk di bangku sekolah adalah banyaknya pelajaran yang harus saya pahami, dan hal tersebut malah membuat pikiran kacau balau. Terlebih lagi yang menjengkelkan adalah bahwa tidak semua pelajaran akan kita terapkan di masa yang akan datang dan biasanya pemahaman mengenai pelajaran hanya pada saat beberapa hari sebelum ujian, saat ujian dan beberapa hari setelah ujian. Pemahaman hanya untuk kepentingan nilai, bukan untuk kehausan akan sebuah ilmu pengetahuan. Hal ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang siswa menuntut ilmu hanya karena nilai yang mungkin akan dapat membuat CV nya bagus saat melamar kerja daripada karena kepentingan akan kehausan ilmu pengetahuan? Berdasarkan pengalaman saya di bangku sekolah, hal tersebut terjadi karena banyaknya pelajaran yang disuguhkan oleh sekolah. Siswa tidak bisa fokus pada beberapa pelajaran saja sehingga cenderung untuk hanya mengejar nilai bagus. Banyaknya pelajaran di sekolah membuat siswa bingung pelajaran apa yang harus dipelajari lebih dulu, terlebih tidak setiap siswa menyenangi seluruh mata pelajaran yang harus ditempuh. Maka hasilnya adalah “asalkan nilai bagus”, maka pemahaman pun akan menjadi hal yang dinomorduakan. Pertanyaannya, apakah negri ini terobsesi untuk menciptakan generasi penerus yang multitasking?
Ketiga. Adanya tuntutan yang dari pihak sekolah atau pemerintah yang mengharuskan siswa untuk mendapatkan nilai minimal sama dengan batas ketuntasan. Batas ketuntasan yang saya alami saat duduk di bangku sekolah berkisar antara 6 hingga 7. Berarti, bila di bawah kisaran tersebut siswa harus melakukan remidi, atau ujian ulang. Semua siswa tentu tidak menginginkan untuk melakukan ujian ulang, karena berarti mereka harus belajar lagi untuk menghadapi berbagai soal yang akan muncul. Maka dapat berpotensi membuat siswa berkata “asalkan nilai bagus”, sehingga pemahaman pun tidak diperhatikan. Bukankah ini berarti bahwa standar nilai tersebut terlalu tinggi? Bukankah ini juga berarti bahwa sekolah dan pemerintah terlalu berlebihan untuk berharap pada siswa mengenai prestasi siswa? Meskipun begitu, banyak orang berpikir bahwa hal kedua dan ketiga yang saya sampaikan adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Yakinkah mereka?
Ketika saya mengeluhkan hal ini pada beberapa guru, mereka malah berkata bahwa nilai bagus adalah indikasi bahwa siswa memahami pelajaran, sehingga perkara mengenai banyaknya jumlah pelajaran di sekolah bukanlah menjadi suatu hal yang harus dipikirkan lebih dalam. Itulah jawaban guru yang diberikan untuk muridnya. Suatu jawaban yang tidak dapat saya terima, sebenarnya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena nilai baik belum tentu hasil kerja keras dari setiap siswa itu sendiri. Bukan berarti saya berburuk sangka pada siswa Indonesia, tapi memang itulah yang saya perhatikan saat saya ada di ruang ujian. Semoga dugaan saya salah mengenai ketidajujuran yang saya sampaikan barusan. Namun, ketika saya menceritakan hal ini pada teman-teman di luar kota mereka menjawab bahwa hal tersebut juga terjadi di daerah mereka.
Bila hal yang tidak sesuai dengan moral pendidikan yang diajarkan, apakah terdapat ketidaktepatan dalam pendidikan negri ini? Menurut hemat saya, memang terjadi ketidaktepatan dalam kebijakan yang ada. Ketidaktepatan yang justru membuat psikis siswa tertekan sehingga siswa cenderung untuk bertindak tidak sesuai dengan perilaku siswa seharusnya. Saya mengatakan hal-hal seperti jam masuk sekolah, jumlah mata pelajaran dan standar nilai justru merupakan suatu kebijakan berlebihan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah maupun pemerintah. Bisa jadi kebijakan yang berlebihan ini pula lah yang memaksa siswa untuk memiliki pola pikir dan tindakan “asalkan nilai bagus”.
Mungkin pemerintah tidak akan memandang kebijakan tersebut berlebihan. Namun, sebagai seorang yang pernah menjadi siswa, saya merasakan beban sekolah yang sangat berat hingga terkadang yang dikejar bukanlah pengetahuan, melainkan nilai semata. Lebih baik jam sekolah dibuat seperti biasa, pukul 7 pagi. Jumlah mata pelajaran dibatasi hanya pada minat siswa sesuai dengan persetujuan guru pendamping (karena dengan fokus pada suatu hal tertentu diperlukan untuk hasil yang maksimal). Selain itu, standar nilai tidak dipatok terlalu tinggi untuk menghindari praktik kecurangan karena “kepepet”.
Dengan solusi yang saya tawarkan, saya justru bertanya-tanya apakah mungkin pemerintah bertindak demikian? Kalau dilihat, bangsa ini benar-benar terobsesi dengan kehadiran generasi muda yang hamper sempurna, yang dapat menjadi generasi multasking. Meskipun begitu kita harus sadar bahwa pola pendidikan yang ada saat ini, kebijakan berlebihan yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM justru meningkatkan rasa stress dan tekanan psikis. Mungkin pemerintah dan sekolah tidak percaya opini saya barusan. Namun, ada baiknya bila mereka terjun ke lapangan sesering mungkin dan mengajak para siswa berdialog mengenai pendidikan yang mereka hadapi, daripada meneruskan kebijakan yang berlebihan tersebut. Saya pikir perasaan mereka tidak berbeda jauh dengan saat saya menjadi siswa dulu.

No comments:

Post a Comment