Thursday, November 4, 2010

Surat untuk Yogyakarta (bagian 1)


Kembali ke kehidupan nyata setelah 3 bulan berhibenasi, berkumpul bersama sanak saudara serta merehatkan otak untuk sementara waktu. Ternyata memang benar-bnenar bukan hal yang mudah. Terlalu lama libur di kota tercinta memang membuat diri saya terlalu nyaman, hanya bermimpi tanpa melakukan kerja keras.

Yogyakarta adalah kota asal saya. Disanalah saya menghabiskan waktu libur selama 3 bulan. Saat di kota tersebut saya merasa sedih melihat teman- teman saya kuliah, sedangkan saya tidak. Iri karena tidak menggunakan otak saya sebagaimana mestinya. Sering saya katakana pada siapa pun itu bahwa saya sangat sangat rindu belajar. Saya merindukan kuliah dengan mendengarkan dosen, diskusi kelas, menegrjakan tugas, membaca buku pelajaran, saya benar-benar merindukannya. Meski mungkin ada beberapa hal yang dapat saya lakukan, namun ada dorongan rasa malas bila saya harus melakukan kegiatan akademis dalam suasana liburan yang penuh dengan godaan.

Saya sering merindukan Yogyakarta. Bagaimana pun juga meskipun telah satu tahun berpisah, namun selama 17 tahun kehidupan saya habiskan di kota tersebut. Betapa Yogyakrta menjadi kota yang selalu saya rindukan. Beribu kenangan ada di kota tersebut. Mulai dari keluarga inti yang selalu ada di sana, teman-teman yang luar biasa entah itu SD,SMP atau SMA. Berbagai perjuangan untuk diri sendiri telah saya lakukan di sana.

Suasana kota yang penuh dengan budaya, jalanan yang penuh dengan motor, turis-turis berlalu lalang di tengah sengatan panas siang sang matahari tak membuat saya berhenti mengagumkan dan merindukan kota ini. Meskipun saya membenci saat-saat saya harus mengendarai kendaraan di tengah riuhnya deru motor, namun justru hal itu yang pertama kali saya kenang saat tidak ada di kota tersebut.

Sungguh. Yogyakarta sebagai kota asal memang terlalu dan sangat nyaman. Sudut-sudut kota yang selalu dihuni oleh pedagang kaki lima, para pengamen dan pengemis yang selalu ada, tempat nongkrong yang tidak jauh berbeda tingkat kenyamanannya dengan tempat nongkrong di kota metropolitan, bahkan pinggir-pinggir jalan yang menyenangkan untuk diduduki. Begitu banyak keindahan kota ini, tak mampu dideskripsikan dengan kata-kata lebih jauh, sebenarnya. Mungkin itu hanya euphoria saya terhadap kota tercinta.

Saat ini bahkan setelah saya di tanah rantau, timbul perasaan rindu dengan keluarga dan teman di Yogyakarta. Begitu pula dengan isi kota tersebut hingga sudut terinci. Beribu atau berjuta persen saya yakin. Tidak akan pernah ada kota yang menngantikan tempat Yogyakarta di hati saya. Tak akan pernah terganti. Tak akan pernah hilang. Tak akan pernah terlupakan. Selalu memunculkan dorongan membuat “Surat untuk Yogyakarta”. Semoga saya dapat kembali lagi secepat mungkin, dan secepat mungkin meninggalkan kota tersebut untuk menghindarai rasa terlena yang berlebihan.



Ditulis: 1 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment