Kasus Gayus Tambunan seorang pegawai pajak Kemenkeu sudah menggegerkan Negara ini. Dia adalah orang pertama yang terekspos media secara heboh dalam urusan penggelapan pajak. Wajar bila masyarakat kemudian enggan membayar pajak dan menuntut adanya perincian pihak-pihak yang tergabung dalam kasus itu. Gayus Tambunan mengatakan bahwa dirinya adalah seekor teri, yang dapat diartikan bahwa negeri ini memiliki hiu atau paus dalam penggelapan pajak.
Teri, hiu, ataupun paus, yang pentig mereka adalah pengkhianat negara yang tanpa segan bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat kecil. Hukum memang seharusnya bertindak dan pimpinan Negara pun sewajibnya langsung turun tangan. Media massa memang telah mengabarkan bahwa para petinggi hokum sedang dalam proses membongkar kasus ini dan pimpinan Negara pun telah memberikan 12 poin instruksi. Dapat dikatakan sudah ada langkah untuk membongkar kasus ini. Namun yang perlu ditanyakan adalah kenapa pembahasan kasus yang sangat penting ini berlarut –larut (sejak pertengahan tahun lalu) dan malah ada sisipan berita-berita dari Istana yang terkesan tidak lebih penting dari kasus Gayus ini?
Setiap Negara tentu punya masalah yang selalu bermunculan. Namun, bila terdapat kasus sangat besar yang menyangkut kehidupan Negara, itulah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dalam rangkaian kasus ini saya malah melihat banyak kasus kecil yang terselip diantara cerita sang pegawai pajak, seperti Presiden membahas masalah RUUK DIY, blackberry, dan juga urusan gaji petinggi Negara. Kasus sisipan itu tentu membuat perhatian publik bergeser. Bisa jadi pergeseran perhatian masyarakat inilah yang diinginkan oleh pemerintah karena ketidakmampuan dalam menguak kasus. Ketidakmampuan dapat berarti memang Gayus terlalu cerdik sehingga dapat dengan mudahnya merampas uang Negara atau karena sebenarnya orang-orang penting Negara (yang disebut sebagai hiu dan paus) juga turut berperan? Entahlah. Memang paling tidak hanya kaum eksekutif dan Gayus sendiri yang mengetahui.
Sebagai rakyat biasa, saya jenuh dengan kasus ini. Kejenuhan tersebut juga mengarahkan pikiran saya untuk tidak percaya pada pemerintah. Jenuh tentu karena penyelesaian kasus ini sangat lama dan pemerintah nampaknya juga tidak memiliki niat serius untuk menyelesaikan kasus ini, terbukti dengan adanya pernyataan-pernyataan dari kasus lain yang tiba-tiba diangkat ke publik. Dalam kasus Gayus pemerintah terkesan tidak solutif, hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat normative tanpa mengalihkan perhatian ke para hiu dan paus pajak. Sangat wajar bila masyarakat kemudian bertindak acuh pada berbagai pemberitaan media karena berkurangnya rasa percaya pada pemerintah. Seluruh perhatian lapisan masyarakat Indonesia tertuju pada Gayus dan banyak dari mereka yang merasa dibodohi olehnya. Para komentator di media massa bahkan mengatakan bahwa negeri ini telah dipermainkan oleh orang sekecil Gayus. Mereka sama dengan saya. Geram saat mendengar berita tersebut, kesal saat mengetahui kasus tak kunjung selesai, dan marah saat belum ada pihak lain yang dijerat karena keterlibatannya dalam alur cerita Gayus Tambunan. Namun nampaknya kita hanya perlu menunggu, meski harus menunggu hingga waktu yang tidak ditentukan sambil berharap adanya kejelasan dan penindakan lanjut secara rinci dari kasus ini.
Tuesday, January 25, 2011
Thursday, January 6, 2011
Dream, Passion and Action
Here I am...sitting on my chair that I used to sit where I was in Jogja. My mind flies back to my last time when I was sitting on this chair at night to study, to get my dream. What a horrible memorable struggle to remember. I love flashback-ing on it.
Now I'm here with different status of academic, different dreams, different on some more things. I'm college student now, in university I dreamt about. My dreams now are not only for me myself but also for everyone around me. I get my new pattern of mind, which is broader. Then I realize that everyone changes with because of their struggle of life, they change as mature as they are, they change because time brings them to the future so they have to keep looking forward. What happens to people also happens to me. I feel it so deep inside.
Life is not easy. I know it, everyone around me does. With thousand dreams I have and my so so brain, I know that life's much more harder for someone like me. But one thing world should know: "I'm not a smart person, I'm not always the lucky no.1, I'm not the outstanding one at class, but I never lose my passion and I will never feel tired to get my dreams."
I can be dreaming. I'm able of doing it. But I dont wanna be a loser by letting go my dreams without make it real. I'm not afraid of dreaming and I must be brave to make it real whatever the way I choose, whatever the challenge I should take, whatever the time makes me wait........
The last one I said, it sounds hopeless. People tend to be as soon as possible to make their dremas come true. But it's not for me. I'm not thinking like that. For me, God has right in intervene our dreams. We're not alone in walking because God see us. God decides when our dreams suppose to come and suppose to be delayed.
Like I said, I have so many dreams but I haven't got one of them, the most difficult and the most valuable from me. Sometimes I think that I'm not worthed to hug my dream because until now I cant get it. But it will dissapear when I remember one of the best quote "Best gift needs time to be presented, God is creating that and consider what best for you....."
Dream needs loyality. It will never go if you never let it go, just keep it and let them alive in your heart and soul then they will create your passion. Dream creates passion in you then it just be up to you whether you want to make it come or not. If you want it to come, act as total as you can, struggle harder and harder to make they really come to you. It will come if you really want it then show your best effort to get them. One more thing. Try to beg on God with pray, then lucky will complete your struggle.
I try to keep it on my mind. I love my dreams, how beautiful I have build it and I dont want anyone to break it. God knows that. I've said many times to God....
Now I'm here with different status of academic, different dreams, different on some more things. I'm college student now, in university I dreamt about. My dreams now are not only for me myself but also for everyone around me. I get my new pattern of mind, which is broader. Then I realize that everyone changes with because of their struggle of life, they change as mature as they are, they change because time brings them to the future so they have to keep looking forward. What happens to people also happens to me. I feel it so deep inside.
Life is not easy. I know it, everyone around me does. With thousand dreams I have and my so so brain, I know that life's much more harder for someone like me. But one thing world should know: "I'm not a smart person, I'm not always the lucky no.1, I'm not the outstanding one at class, but I never lose my passion and I will never feel tired to get my dreams."
I can be dreaming. I'm able of doing it. But I dont wanna be a loser by letting go my dreams without make it real. I'm not afraid of dreaming and I must be brave to make it real whatever the way I choose, whatever the challenge I should take, whatever the time makes me wait........
The last one I said, it sounds hopeless. People tend to be as soon as possible to make their dremas come true. But it's not for me. I'm not thinking like that. For me, God has right in intervene our dreams. We're not alone in walking because God see us. God decides when our dreams suppose to come and suppose to be delayed.
Like I said, I have so many dreams but I haven't got one of them, the most difficult and the most valuable from me. Sometimes I think that I'm not worthed to hug my dream because until now I cant get it. But it will dissapear when I remember one of the best quote "Best gift needs time to be presented, God is creating that and consider what best for you....."
Dream needs loyality. It will never go if you never let it go, just keep it and let them alive in your heart and soul then they will create your passion. Dream creates passion in you then it just be up to you whether you want to make it come or not. If you want it to come, act as total as you can, struggle harder and harder to make they really come to you. It will come if you really want it then show your best effort to get them. One more thing. Try to beg on God with pray, then lucky will complete your struggle.
I try to keep it on my mind. I love my dreams, how beautiful I have build it and I dont want anyone to break it. God knows that. I've said many times to God....
Wednesday, November 17, 2010
Pembagian Daging Qurban --> Potret Kemiskinan atau Kerakusan?
Dalam Islam, Hari Raya Qurban adalah sebuah hari penting, selayaknya seperti Hari Raya Idul Fitri. Menyembelih hewan qurban bagi yang orang yang mampu secara finansial untuk kemudian dibagikan kepada orang yang tak mampu. Hal ini bertujuan untuk berbagi rejeki yang selama ini telah didapat dari Allah SWT. Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan setelah shalat ied berjamaah. Setelah disembelih, para warga miskin berhak mengambil jatah dagingnya dengan syarat menunjukkan kupon yang diterima pada hari-hari sebelumnya (peraturan semacam ini terdapat di sebagian besar daerah di Indonesia).
Pada perayaan semacam ini, stasiun televisi berlomba untuk menyiarkan berbagai hal seputar Hari Raya Qurban, mulai dari berita paling sederhana hingga kompleks, yang membutuhkan perhatian lebih. Berita yang membuat saya tak henti bertanya adalah mengenai berbagai kecelakaan dalam proses pengantrian untuk mengambil daging qurban. Pertanyan yang selalu ada dalam benak saya adalah:
1). tidak bisakah para pengantri sabar untuk menunggu giliran dipanggil namanya?
2). apakah ada sesuatu yang salah dari aparat dalam mengatur antrian itu?
3). mengapa para warga rela berdesak-desakan hingga susah nafas hanya untuk daging yang jumlahnya tidak sebanding dengan usahanya untuk antri?
4). inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia, hingga benar-benar tak mampu untuk mengonsumsi makanan bergizi?
5). atau itukah potret kerakusan masyarakat Indonesia, hingga rela menyiksa diri untuk mendapatkan sesuatu yang GRATIS? meskipun sebenarnya meraka sering mengonsumsinya
Antrian bejubel hingga melebihi kuota antrian yang diprediksi sebelumnya hingga setiap orang merasa kesulitan untuk bernafas tentu bukan hal yang sekali dua kali terjadi di negeri ini. Tak hanya pada pembagian daging qurban saat Idul Adha, namun juga saat pembagian zakat pada saat menjelang Idul Fitri atau "angpao" saat Idul Fitri. Bukan hanya berdesakan di tengah antrian bejubel, sering kali ada pengantri yang mendapat kecelakaan, seperti sesak nafas, lecet-lecet karena terseret-seret, atau bahkan parahnya lagi harus ada korban (meninggal) pada prosesi pembagian rejeki ini. Tentu hal tersebut sangat miris, mengingat niat awal yang positif dari para pengantri, yaitu berusaha untuk mengais rejeki.
Sebenarnya, bila disimak lebih rinci perbandingan hasil yang didapat dengan usaha untuk mengantri sangatlah jauh. Para warga sangat rela untuk mengeluarkan tenaga sedemikian rupa (ditambah kesengsaraan yang diterima), sedangkan rejeki yang didapat hanyalah sedikit, seperti 1 kg daging. Sepintas, mungkin 1 kg daging sangat bermakna, apalagi untuk kalangan orang miskin. Namun, tidak semua orang melihat bagaimana realita pembagian di lapangan. Orang harus berdesakan hingga kesulitan untuk bernafas, beruntung kalau tidak meninggal. Sehingga dapat disimpulkan biaya untuk mendapatkan daging memang Rp 0, tapi kalau biaya lain dihitung (seperti sesak nafas,dll) maka warga harus menanggung biaya lebih dari harga daging yang dibagikan.
Kembali ke pertanyaan saya di atas. Saya pikir ini adalah salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk tidak bisa menerapkan pelajaran "antri" dalam kehidupan nyata. Semenjak SD dalam pelajaran PKn selalu diajarkan untuk rapih dalam menunggu giliran (antri), namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukannya. Para warga terkadang tidak sabar untuk mendengar namanya disebut (atau takut kehabisan barang yang dibagikan?) sehingga maju ke depan hingga membuat orang-orang di depannya terdesak, dan akhirnya satu tempat pembagian riuh,penuh dan sesak oleh lautan manusia.
Setiap kegiatan pembagian pasti ada tim pengatur agar para pengantri dapat antri sesuai dengan peraturan. Mendengar berbagai kecelakaan terjadi dalam prosesi ini, saya pikir tidak bisa secara sepihak terus menerus menyalahkan aparat penegak peraturan bila yang diatur saja demikian. Tidak bisa tim pengatur berdiri sendiri dengan berbagai aturan yang telah mereka buat, sementara para pengantri tidak mau tunduk pada aturan tersebut.
Menuju petanyaan ketiga pada urutan pertanyaan yang saya ajukan di atas. Mengapa warga rela berdesak-desakan untuk barang yang tidak sebanding dengan usahanya mendapat barang tersebut? Hingga saat ini saya belum dapat memberikan jawaban pasti. Jawaban yang ada dalam pikiran saya mengenai pertanyaan ini masih prediksi belaka. Mungkin para pengantri sangat mengidamkan barang gratis (secara rupiah). Mungkin mereka memang benar ingin mengambil hak mereka. Mungkin karena mereka tidak bisa lagi menikmati barang itu dilain waktu. Bebarapa orang akan berpikir para pengantri adalah orang yang kurang kerjaan. Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan begitu saja karena sebenarnya orang-orang itu benar membutuhkannya.
Dengan ditayangkannya liputan tragis seputar pembagian daging qurban, pertanyaan utama dalam pikiran saya adalah "inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia? atau kerakusan? Keduanya berbeda sangat tipis bila ditelaah kembali.
Orang yang seharusnya mengantri dalam proses pembagian tersebut adalah orang miskin, yang benar-benar membutuhkan santunan. Namun, saya tidak yakin dengan teori tersebut, karena masih banyak watak masyarakat kita yang sangat suka dengan sesuatu Rp 0-->GRATIS. Masih banyak orang Indonesia yang berpikir aneh, seperti "maju bila ada pembagiaan, mundur bila ada pemungutan", juga masih banyak orang Indonesia yang bertindak tidak masuk akal dengan melakukan kegiatan yang sebenarnya keuntungan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Cukuplah bukti di lapangan (bagi saya) untuk mengatakan bahwa tidak semua yang ada di tempat pembagian adalah orang miskin. Bila begitu, orang yang tidak miskin ini sebenarnya memang mengaku (berpura-pura) miskin atau mengutamakan kerakusan belaka?. Saya pikir kerakusan memegang kendali pada orang-orang tersebut dalam situasi seperti ini. Bagaimana tidak? orang-orang yang mengaku miskin hanya ingin merasakan barang gratis, padahal mereka sudah pernah merasakan barangnya dan cukup mampu untuk membelinya.
Sekarang kita melihat kondisi itu tanpa melibatkan orang yang berpura-pura miskin di dalamnya, hanya mengasumsikan bahwa hanya ada orang miskin di dalamnya. Bisa dikatakan tingkat kemiskinan negri ini sudah akut karena bahkan hanya untuk membeli makanan bergizi saja tidak mampu. Sangat disayangkan. Kemiskinan yang pada akhirnya membuat orang berpikir tidak rasional sehingga berani untuk (secara tidak disadari) menyiksa diri sendiri. Bisa jadi juga dengan terbelitnya kemiskinan mereka juga bertindak rakus. Orang miskin bukan tidak mungkin bertindak rakus, karena sebenarnya mereka takut untuk masuk ke jurang kemiskinan lebih dalam, oleh karena itu mereka berusaha untuk mendapatkan lebih (apapun caranya). Dan bila orang mampu bertindak rakus, mungkin karena mereka tidak ingin kembali mendapatkan masa miskinnya atau ingin menikmati sesuatu yang lebih.
Yang jelas, drama pembagian rejeki (seperti hewan qurban)adalah drama yang membuat saya terus bertanya, "Apakah di tempat itu semuanya orang miskin? Jika begitu, separah itukah potret kemiskinan tanah air ini? Jika di tempat itu tidak semua orang miskin, maka separah itukah kerakusan para masyarakat Indonesia?"
Yang sangat perlu dipikirkan ulang oleh seluruh masyarakat adalah bahwa sebenarnya mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dari harga daging, yang berarti pembagian tersebut tidak GRATIS-->Rp 0. Mereka menganggap pembagian tersebut gratis karena tidak mencantumkan unsur berdesakan, sesak nafas, lecet-lecet, dan pertaruhan nyawa.
Pada perayaan semacam ini, stasiun televisi berlomba untuk menyiarkan berbagai hal seputar Hari Raya Qurban, mulai dari berita paling sederhana hingga kompleks, yang membutuhkan perhatian lebih. Berita yang membuat saya tak henti bertanya adalah mengenai berbagai kecelakaan dalam proses pengantrian untuk mengambil daging qurban. Pertanyan yang selalu ada dalam benak saya adalah:
1). tidak bisakah para pengantri sabar untuk menunggu giliran dipanggil namanya?
2). apakah ada sesuatu yang salah dari aparat dalam mengatur antrian itu?
3). mengapa para warga rela berdesak-desakan hingga susah nafas hanya untuk daging yang jumlahnya tidak sebanding dengan usahanya untuk antri?
4). inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia, hingga benar-benar tak mampu untuk mengonsumsi makanan bergizi?
5). atau itukah potret kerakusan masyarakat Indonesia, hingga rela menyiksa diri untuk mendapatkan sesuatu yang GRATIS? meskipun sebenarnya meraka sering mengonsumsinya
Antrian bejubel hingga melebihi kuota antrian yang diprediksi sebelumnya hingga setiap orang merasa kesulitan untuk bernafas tentu bukan hal yang sekali dua kali terjadi di negeri ini. Tak hanya pada pembagian daging qurban saat Idul Adha, namun juga saat pembagian zakat pada saat menjelang Idul Fitri atau "angpao" saat Idul Fitri. Bukan hanya berdesakan di tengah antrian bejubel, sering kali ada pengantri yang mendapat kecelakaan, seperti sesak nafas, lecet-lecet karena terseret-seret, atau bahkan parahnya lagi harus ada korban (meninggal) pada prosesi pembagian rejeki ini. Tentu hal tersebut sangat miris, mengingat niat awal yang positif dari para pengantri, yaitu berusaha untuk mengais rejeki.
Sebenarnya, bila disimak lebih rinci perbandingan hasil yang didapat dengan usaha untuk mengantri sangatlah jauh. Para warga sangat rela untuk mengeluarkan tenaga sedemikian rupa (ditambah kesengsaraan yang diterima), sedangkan rejeki yang didapat hanyalah sedikit, seperti 1 kg daging. Sepintas, mungkin 1 kg daging sangat bermakna, apalagi untuk kalangan orang miskin. Namun, tidak semua orang melihat bagaimana realita pembagian di lapangan. Orang harus berdesakan hingga kesulitan untuk bernafas, beruntung kalau tidak meninggal. Sehingga dapat disimpulkan biaya untuk mendapatkan daging memang Rp 0, tapi kalau biaya lain dihitung (seperti sesak nafas,dll) maka warga harus menanggung biaya lebih dari harga daging yang dibagikan.
Kembali ke pertanyaan saya di atas. Saya pikir ini adalah salah satu kelemahan masyarakat Indonesia untuk tidak bisa menerapkan pelajaran "antri" dalam kehidupan nyata. Semenjak SD dalam pelajaran PKn selalu diajarkan untuk rapih dalam menunggu giliran (antri), namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukannya. Para warga terkadang tidak sabar untuk mendengar namanya disebut (atau takut kehabisan barang yang dibagikan?) sehingga maju ke depan hingga membuat orang-orang di depannya terdesak, dan akhirnya satu tempat pembagian riuh,penuh dan sesak oleh lautan manusia.
Setiap kegiatan pembagian pasti ada tim pengatur agar para pengantri dapat antri sesuai dengan peraturan. Mendengar berbagai kecelakaan terjadi dalam prosesi ini, saya pikir tidak bisa secara sepihak terus menerus menyalahkan aparat penegak peraturan bila yang diatur saja demikian. Tidak bisa tim pengatur berdiri sendiri dengan berbagai aturan yang telah mereka buat, sementara para pengantri tidak mau tunduk pada aturan tersebut.
Menuju petanyaan ketiga pada urutan pertanyaan yang saya ajukan di atas. Mengapa warga rela berdesak-desakan untuk barang yang tidak sebanding dengan usahanya mendapat barang tersebut? Hingga saat ini saya belum dapat memberikan jawaban pasti. Jawaban yang ada dalam pikiran saya mengenai pertanyaan ini masih prediksi belaka. Mungkin para pengantri sangat mengidamkan barang gratis (secara rupiah). Mungkin mereka memang benar ingin mengambil hak mereka. Mungkin karena mereka tidak bisa lagi menikmati barang itu dilain waktu. Bebarapa orang akan berpikir para pengantri adalah orang yang kurang kerjaan. Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan begitu saja karena sebenarnya orang-orang itu benar membutuhkannya.
Dengan ditayangkannya liputan tragis seputar pembagian daging qurban, pertanyaan utama dalam pikiran saya adalah "inikah potret kemiskinan masyarakat Indonesia? atau kerakusan? Keduanya berbeda sangat tipis bila ditelaah kembali.
Orang yang seharusnya mengantri dalam proses pembagian tersebut adalah orang miskin, yang benar-benar membutuhkan santunan. Namun, saya tidak yakin dengan teori tersebut, karena masih banyak watak masyarakat kita yang sangat suka dengan sesuatu Rp 0-->GRATIS. Masih banyak orang Indonesia yang berpikir aneh, seperti "maju bila ada pembagiaan, mundur bila ada pemungutan", juga masih banyak orang Indonesia yang bertindak tidak masuk akal dengan melakukan kegiatan yang sebenarnya keuntungan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Cukuplah bukti di lapangan (bagi saya) untuk mengatakan bahwa tidak semua yang ada di tempat pembagian adalah orang miskin. Bila begitu, orang yang tidak miskin ini sebenarnya memang mengaku (berpura-pura) miskin atau mengutamakan kerakusan belaka?. Saya pikir kerakusan memegang kendali pada orang-orang tersebut dalam situasi seperti ini. Bagaimana tidak? orang-orang yang mengaku miskin hanya ingin merasakan barang gratis, padahal mereka sudah pernah merasakan barangnya dan cukup mampu untuk membelinya.
Sekarang kita melihat kondisi itu tanpa melibatkan orang yang berpura-pura miskin di dalamnya, hanya mengasumsikan bahwa hanya ada orang miskin di dalamnya. Bisa dikatakan tingkat kemiskinan negri ini sudah akut karena bahkan hanya untuk membeli makanan bergizi saja tidak mampu. Sangat disayangkan. Kemiskinan yang pada akhirnya membuat orang berpikir tidak rasional sehingga berani untuk (secara tidak disadari) menyiksa diri sendiri. Bisa jadi juga dengan terbelitnya kemiskinan mereka juga bertindak rakus. Orang miskin bukan tidak mungkin bertindak rakus, karena sebenarnya mereka takut untuk masuk ke jurang kemiskinan lebih dalam, oleh karena itu mereka berusaha untuk mendapatkan lebih (apapun caranya). Dan bila orang mampu bertindak rakus, mungkin karena mereka tidak ingin kembali mendapatkan masa miskinnya atau ingin menikmati sesuatu yang lebih.
Yang jelas, drama pembagian rejeki (seperti hewan qurban)adalah drama yang membuat saya terus bertanya, "Apakah di tempat itu semuanya orang miskin? Jika begitu, separah itukah potret kemiskinan tanah air ini? Jika di tempat itu tidak semua orang miskin, maka separah itukah kerakusan para masyarakat Indonesia?"
Yang sangat perlu dipikirkan ulang oleh seluruh masyarakat adalah bahwa sebenarnya mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dari harga daging, yang berarti pembagian tersebut tidak GRATIS-->Rp 0. Mereka menganggap pembagian tersebut gratis karena tidak mencantumkan unsur berdesakan, sesak nafas, lecet-lecet, dan pertaruhan nyawa.
Saturday, November 13, 2010
Un Soir du Paris
Kalimat tersebut tidak berarti saya pernah menikmati sore hari menunggu tenggelamnya sang fajar di kota impian saya, Paris. Kalimat tersebut adalah penggalan judul buku berisi kumpulan cerpen yang saya baca, diterbitkan oleh Gramedia. Penulis novel-novel ternama seperti Clara Ng menghiasi beberapa lembar dari buku tersebut.
Sebenarnya saya bukan penggemar fanatik dari novel-novel fiksi. Namun, untuk novel fiksi kali ini, Un Soir du Paris, saya merasa ada hal-hal yang sangat terkait dan mendekati kehidupan nyata, bahkan dapat dikatakan novel tersebut merupakan gambaran kehidupan nyata.
Bercerita mengenai kehidupan para manusia yang hidup dengan suatu penyakit psikis (jika itu dapat disebut sebagai sebuah penyakit), orientasi seksual yang menyimpang (jika itu dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan), dan hidup dengan tekanan dari masyarakat sekitar. Ya, saya berbicara mengenai penyuka sesama jenis, gay atau lesbian.
Dalam buku itu diceritakan bahwa para penyuka sesama jenis tersebut mengaku terang-terangan di hadapan masyarakat dan tidak mengaku, sekalipun pada teman dekatnya sendiri. Hal ini tentu menjadi pro kontra berlanjut jika dijadikan topik pembicaraan publik. Seputar kelayakan mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Kebanyakan orang akan mengaitkan ketidaksesuaian hal tersebut dengan nilai agama, budaya serta moral. Sehingga para penyuka sesama jenis mendapat tekanan yang luar biasa dari masyarakat. Beruntung bila hanya dibicarakan. Kebanyakan dari mereka disingkirkan dan sedikit ada orang yang mau mendekat karena dianggap mereka telah melakukan penyimpangan sosial. Anggapan dan tindakan masyarakat tersebut memang terkesan berlebihan, seperti tidak menghormati kebebasan orang hidup. Itulah yang diceritakan dalam buku.
Bila dikaitkan dengan kehidupan nyata, memang tidak berbeda. Beberapa teman saya adalah penyuka sesama jenis. Mereka tidak mau kehidupan mereka disorot oleh masyarakat karena tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu, sehingga hanya menceritakan hal tersebut ke teman-teman terdekatnya saja. Bagaimana dengan orang tua? Teman-teman saya menjawab mereka mencari saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut pada orang tua, beberapa mengatakan hal ini adalah sangat rahasia dan jangan sampai orang tua tahu sedikit pun. Tidak ingin membuat orang tua bersedih, itulah alasannya. Tidak berbeda dengan novel yang saya baca, sehingga dapat dikatakan bahwa novel ini adalah gambaran nyata suatu kehidupan.
Izinkan Mereka Diterima di Bumi Ini!
Bukan sesuatu yang salah, meskipun sebagian orang mengatakan hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan seksual. Saya cukup menghormati perasaan tersebut, meskipun saya bukan penyuka sesama jenis dan selalu memohon perlindungan-Nya untuk berada dalam jalan yang wajar (menyukai pria). Bisa dikatakan para penyuka sesama jenis tersebut tidak berada dalam jalan wajar, jalan yang mana wanita hanya menyukai pria dan pria hanya menyukai wanita. Namun sekali lagi, mereka tidak salah. Semenjak lahir para orang tua dan mereka sendiri pun tentu berharap menjadi manusia yang hidup di jalan lurus, seperti orang kebanyakan, termasuk dalam hal percintaan untuk menyukai lawan jenis. Penyimpangan menjadi seorang gay atau lesbian mungkin karena “kecelakaan” belaka, dalam arti mereka masuk ke dunia itu tanpa disangka-sangka sebelumnya dan juga sebagai suatu hal yang tidak diinginkan. Lama kelamaan bagi mereka sendiri akan menjadi sebuah naluri.
Mereka tidak salah dan justru senang dengan kehidupanyya. Tapi yang menjadi suatu ganjalan adalah caci maki dan tekanan masyarakat sekitar mereka. Masyarakat adalah golongan yang dekat dengan kehidupan setiap individu. Ketika masyarakat pun sudah mengecam, maka kemana lagi mereka harus berlindung? Tidak mungkin mereka akan terus-terusan berinteraksi dengan keluarga saja.
Saya pun tidak menyalahkan masyarakat atas pemikirannya. Meskipun sangat menyangkan hal tersebut. Saya menyayangkan pemikiran masyarakat yang tidak mencoba untuk melihat dari lain sisi, bila mereka menjadi seorang penyuka sesama jenis. Pemikiran yang menurut saya terlalu sempit karena langsung menghakimi suatu hal tanpa melihat latar belakang dan alasan. Sangat disayangkan bahwa pemikiran mereka sangat normatif, sesuai dengan apa yang seharusnya pada ajaran agama dan tatanan moral. Seperti yang saya katakan, para gay dan lesbian pun tidak menginginkan terjun dalam dunia tersebut, mereka ingin seperti kebanyakan orang yang hidup dalam jalur wajar. Namun, “kecelakaan” (sesuatu yang sama sekali tidak disangka) membawa mereka ke dalam dunia tersebut. Tentu sangat berat ketika harus menerima sanksi masyarakat yang sedemikian beratnya (dijauhi, dikucilkan). Meski begitu, beberapa dari para gay dan lesbian tidak dapat mengubah orientasi tersebut karena telah menjadi sebuah naluri. Beruntung bagi sebagian gay dan lesbian yang dapat keluar meninggalkan perasaan tersebut. Namun bagi yang tidak bisa, mereka hanya akan terus berpikir bahwa masyarakat adalah musuh.
Saya pikir masyarakat harus membuka pikiran lebih luas untuk menghormati pilihan para penyuka sesama jenis. Gay dan lesbian hanya butuh dihormati. Masyarakat tidak perlu berusaha untuk mengubah para penyuka sesama jenis, karena mayoritas dari mereka adalah orang dewasa yang dapat berpikir dan mengetahui peraturan dalam agama, khususnya. Mengenai perubahan pada diri gay dan lesbian, hanya diri mereka sendiri yang dapat mengubahnya. Sekuat apa pun dorongan masyarakat untuk mengubahnya, perasaan tersebut tidak akan hilang karena telah menjadi naluri.
Izinkanlah mereka untuk bergabung kembali dalam masyarakat, karena setiap orang membutuhkan masyarakat. Hormati mereka seperti layaknya orang biasa, karena pada dasarnya setiap manusia hanya ingin dihormati dan dihargai pilihan hidupnya. Menurut saya, tidak ada pilihan hidup yang salah. Hanya mungkin, pilihan mereka berada dalam jalur yang tidak biasa dipilih oleh orang lain. Selama pilihan mereka tidak mengganggu orang lain, maka layaklah mereka untuk mendapat penghormatan tersebut. Saya berpikir mereka bukan seperti monster yang sedang mencari mangsa, karena mereka hanya akan suka pada orang yang memiliki orientasi yang sama. Rangkul mereka dalam kehidupan bersama karena mereka pasti juga memiliki beragam sisi positif yang tidak diketahui oleh masyarakat. Menjadi gay dan lesbi bukan keninginan mereka sejak awal. Kejadiaan tak disangka yang kemudian menjadi sebuah pilihan hidup berdasarkan naluri yang mereka miliki. Namun, bukan berarti pilihan tersebut tidak dapat mereka ubah……… Oleh karena itu, jangan singkirkan mereka, rangkul mereka dalam kebersamaan, beruntunglah apabila mereka menemukan sebuah pencerahan dari dalam hati yang terdalam untuk kembali ke jalan wajar. Izinkanlah mereka untuk dapat terus menapak di bumi ini tanpa ada suatu penolakan apapun.
Sebenarnya saya bukan penggemar fanatik dari novel-novel fiksi. Namun, untuk novel fiksi kali ini, Un Soir du Paris, saya merasa ada hal-hal yang sangat terkait dan mendekati kehidupan nyata, bahkan dapat dikatakan novel tersebut merupakan gambaran kehidupan nyata.
Bercerita mengenai kehidupan para manusia yang hidup dengan suatu penyakit psikis (jika itu dapat disebut sebagai sebuah penyakit), orientasi seksual yang menyimpang (jika itu dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan), dan hidup dengan tekanan dari masyarakat sekitar. Ya, saya berbicara mengenai penyuka sesama jenis, gay atau lesbian.
Dalam buku itu diceritakan bahwa para penyuka sesama jenis tersebut mengaku terang-terangan di hadapan masyarakat dan tidak mengaku, sekalipun pada teman dekatnya sendiri. Hal ini tentu menjadi pro kontra berlanjut jika dijadikan topik pembicaraan publik. Seputar kelayakan mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Kebanyakan orang akan mengaitkan ketidaksesuaian hal tersebut dengan nilai agama, budaya serta moral. Sehingga para penyuka sesama jenis mendapat tekanan yang luar biasa dari masyarakat. Beruntung bila hanya dibicarakan. Kebanyakan dari mereka disingkirkan dan sedikit ada orang yang mau mendekat karena dianggap mereka telah melakukan penyimpangan sosial. Anggapan dan tindakan masyarakat tersebut memang terkesan berlebihan, seperti tidak menghormati kebebasan orang hidup. Itulah yang diceritakan dalam buku.
Bila dikaitkan dengan kehidupan nyata, memang tidak berbeda. Beberapa teman saya adalah penyuka sesama jenis. Mereka tidak mau kehidupan mereka disorot oleh masyarakat karena tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu, sehingga hanya menceritakan hal tersebut ke teman-teman terdekatnya saja. Bagaimana dengan orang tua? Teman-teman saya menjawab mereka mencari saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut pada orang tua, beberapa mengatakan hal ini adalah sangat rahasia dan jangan sampai orang tua tahu sedikit pun. Tidak ingin membuat orang tua bersedih, itulah alasannya. Tidak berbeda dengan novel yang saya baca, sehingga dapat dikatakan bahwa novel ini adalah gambaran nyata suatu kehidupan.
Izinkan Mereka Diterima di Bumi Ini!
Bukan sesuatu yang salah, meskipun sebagian orang mengatakan hal tersebut sebagai sebuah penyimpangan seksual. Saya cukup menghormati perasaan tersebut, meskipun saya bukan penyuka sesama jenis dan selalu memohon perlindungan-Nya untuk berada dalam jalan yang wajar (menyukai pria). Bisa dikatakan para penyuka sesama jenis tersebut tidak berada dalam jalan wajar, jalan yang mana wanita hanya menyukai pria dan pria hanya menyukai wanita. Namun sekali lagi, mereka tidak salah. Semenjak lahir para orang tua dan mereka sendiri pun tentu berharap menjadi manusia yang hidup di jalan lurus, seperti orang kebanyakan, termasuk dalam hal percintaan untuk menyukai lawan jenis. Penyimpangan menjadi seorang gay atau lesbian mungkin karena “kecelakaan” belaka, dalam arti mereka masuk ke dunia itu tanpa disangka-sangka sebelumnya dan juga sebagai suatu hal yang tidak diinginkan. Lama kelamaan bagi mereka sendiri akan menjadi sebuah naluri.
Mereka tidak salah dan justru senang dengan kehidupanyya. Tapi yang menjadi suatu ganjalan adalah caci maki dan tekanan masyarakat sekitar mereka. Masyarakat adalah golongan yang dekat dengan kehidupan setiap individu. Ketika masyarakat pun sudah mengecam, maka kemana lagi mereka harus berlindung? Tidak mungkin mereka akan terus-terusan berinteraksi dengan keluarga saja.
Saya pun tidak menyalahkan masyarakat atas pemikirannya. Meskipun sangat menyangkan hal tersebut. Saya menyayangkan pemikiran masyarakat yang tidak mencoba untuk melihat dari lain sisi, bila mereka menjadi seorang penyuka sesama jenis. Pemikiran yang menurut saya terlalu sempit karena langsung menghakimi suatu hal tanpa melihat latar belakang dan alasan. Sangat disayangkan bahwa pemikiran mereka sangat normatif, sesuai dengan apa yang seharusnya pada ajaran agama dan tatanan moral. Seperti yang saya katakan, para gay dan lesbian pun tidak menginginkan terjun dalam dunia tersebut, mereka ingin seperti kebanyakan orang yang hidup dalam jalur wajar. Namun, “kecelakaan” (sesuatu yang sama sekali tidak disangka) membawa mereka ke dalam dunia tersebut. Tentu sangat berat ketika harus menerima sanksi masyarakat yang sedemikian beratnya (dijauhi, dikucilkan). Meski begitu, beberapa dari para gay dan lesbian tidak dapat mengubah orientasi tersebut karena telah menjadi sebuah naluri. Beruntung bagi sebagian gay dan lesbian yang dapat keluar meninggalkan perasaan tersebut. Namun bagi yang tidak bisa, mereka hanya akan terus berpikir bahwa masyarakat adalah musuh.
Saya pikir masyarakat harus membuka pikiran lebih luas untuk menghormati pilihan para penyuka sesama jenis. Gay dan lesbian hanya butuh dihormati. Masyarakat tidak perlu berusaha untuk mengubah para penyuka sesama jenis, karena mayoritas dari mereka adalah orang dewasa yang dapat berpikir dan mengetahui peraturan dalam agama, khususnya. Mengenai perubahan pada diri gay dan lesbian, hanya diri mereka sendiri yang dapat mengubahnya. Sekuat apa pun dorongan masyarakat untuk mengubahnya, perasaan tersebut tidak akan hilang karena telah menjadi naluri.
Izinkanlah mereka untuk bergabung kembali dalam masyarakat, karena setiap orang membutuhkan masyarakat. Hormati mereka seperti layaknya orang biasa, karena pada dasarnya setiap manusia hanya ingin dihormati dan dihargai pilihan hidupnya. Menurut saya, tidak ada pilihan hidup yang salah. Hanya mungkin, pilihan mereka berada dalam jalur yang tidak biasa dipilih oleh orang lain. Selama pilihan mereka tidak mengganggu orang lain, maka layaklah mereka untuk mendapat penghormatan tersebut. Saya berpikir mereka bukan seperti monster yang sedang mencari mangsa, karena mereka hanya akan suka pada orang yang memiliki orientasi yang sama. Rangkul mereka dalam kehidupan bersama karena mereka pasti juga memiliki beragam sisi positif yang tidak diketahui oleh masyarakat. Menjadi gay dan lesbi bukan keninginan mereka sejak awal. Kejadiaan tak disangka yang kemudian menjadi sebuah pilihan hidup berdasarkan naluri yang mereka miliki. Namun, bukan berarti pilihan tersebut tidak dapat mereka ubah……… Oleh karena itu, jangan singkirkan mereka, rangkul mereka dalam kebersamaan, beruntunglah apabila mereka menemukan sebuah pencerahan dari dalam hati yang terdalam untuk kembali ke jalan wajar. Izinkanlah mereka untuk dapat terus menapak di bumi ini tanpa ada suatu penolakan apapun.
Friday, November 5, 2010
Surat untuk Yogyakarta (bagian 2)


Kla Project - Yogyakarta
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…
Itulah lirik lagu Yogyakarta dari Kla Project. Membuat saya bernostalgia tentang kota asal saya, tempat saya dibesarkan.
Benar. Saat mendengar musisi jalanan beraksi dan menyaksikan kaki lima menyajikan sajian khas berselera, saat itulah saya benar-benar merasa tentram.
Berjalan di tepian Jalan Malioboro, melewati depan Benteng Vendenburg dilanjutkan Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia. Sungguh membuat saya berada dalam balutan kebudayaan tradisional yang tidak lekang oleh waktu meski banyak budaya luar masuk ke kota ini. Belum lagi ditambah dengan sikap masyarakat ramah yang Njawani, berkarakter orang Jawa selayaknya.
Mengenang daerah asal memang tidak ada habisnya. Selalu ada ingatan-ingatan yang kemudian muncul, mengingatkan lebih rinci akan berbagai hal yang telah dilakukan di kota tersebut. Kota yang indah, dikunjungi oleh turis dari berbagai belahan dunia karena budayanya, dengan suasana tradisional di berbagai sudut kota. Sungguh, tidak akan terlupakan.
Namun, kenangan itu berubah menjadi rasa sedih berkepanjangan sejak tanggal 26 Oktober 2010. Merapi, sebagai gunung aktif di DIY melakukan aktivitasnya. Banyak korban tertelan olehnya. Hujan abu, pasir,krikil dan suara perut bumi pun terdengar dari Kota Yogyakarta.
Kota berubah menjadi putih (keabu-abuan) dan berdebu. Keadaan sangat mencekam, tidak seperti Kota Yogyakarta yang biasa saya kenal sebagai kota bersahabat dan ramah. Sungguh mengejutkan, mengingat jarak merapi yang berada di daerah Sleman lumayan jauh dengan kota, meski keduanya masih berada dalam satu provinsi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta tidak lagi seperti sebelumnya. Saat ini kota tersebut sangat berdebu, kehilangan jiwa budayanya, kehilangan aktivitas warga dengan lalu lalang para turis. Meski begitu, beberapa kerabat saya mengatakan terdapat suasana mistis di kota ini. Berhubungan dengan Keraton dan makhluk lainnya. Hal yang sebenarnya tidak logis untuk dinalar, namun itulah sepenggal kepercayaan sebagian orang Yogyakarta.
Bencana Merapi memang sangat memprihatinkan seperti yang bisa dilihat di televisi. Suasana Yogyakarta dan sekitarnya pun turut mencekam, tidak ada yang mampu melawan gejolak alam tersebut.
Segenting apapun keadaannya, separah apapun jadinya kota ini, saya tidak akan pernah lelah dan bosan merindukan kota ini. Merapi memang membuat saya sangat sedih karena kota saya terkena dampaknya, banyak orang menjadi korban dan banyak orang pergi untuk keamanan. Namun, hal itu tidak menghalangi saya untuk memendam dan menjalankan keinginan kuat kembali ke kota tercinta. Akan selalu saya rindukan dan saya yakin bencana ini akan segera berakhir, hingga mengukir Kota Yogyakarta kembali indah seperti sedia kala.
Thursday, November 4, 2010
Dalam Kepalsuan
Kompas (3/11/2010). Berita 1: Presiden SBY mengunjungi barak pengungsian merapi. Berita 2: RI 1 datang, barak berubah. Berita 3: Anak-anak sekolah dilatih menyambut kedatangan presiden. Berita 4: Dikunjungi SBY, jalan sudah tidak becek. Liputan6.com: Sambut SBY, pengungsi dipinjami kasur.
Itulah inti berita yang saya baca di media masa. Membaca berita tersebut entah mengapa ada perasaan janggal pada diri saya, dan berpikir pihak mana yang sebenarnya bodoh. Apakah pihak masyarakat yang sangat terobsesi untuk menyenangkan tamu atau pihak kepresidenan yang memaksa masyarakat untuk bertindak baik (seolah-olah tidak ada apa-apa) sekalipun saat kondisi bumi sedang genting. Berita tersebut tentu sangat menarik bagi saya.
Saya yakin, hal tersebut bukan pertama kali yang dilakukan oleh masyarakat (korban bencana) saat akan dikunjungi oleh presiden. Sebelumnya, presiden juga pernah mengunjungi suatu daerah di Sulawesi. Presiden akan turun langsung untuk melihat kondisi masyarakat di sana, di daerah perkampungan kumuh yang tentu banyak aktivitas rumah tangga. Perkampungan kumuh yang mana kampung tersebut sebenarnya terlalu sempit untuk menampung jumlah manusia. Banyak jemuran warga bergelantungan di depan rumah dan barang tersebut harus disingkirkan karena presiden hendak datang. Sehingga presiden akan melihat bahwa kampung tersebut sangat indah, tertata, dan orang-orang di dalamnya pun makmur.
Pertanyaan pun muncul dalam benak saya. Sebenarnya, siapa yang mengatur ini semua? Apakah kepala kelompok masyarakat atau bawahan presiden? Atau keduanya? Hati dan pikiran saya lebih cenderung pada pilihan jawaban yang terakhir. Keduanya. Bawahan presiden tentu tidak ingin dimarahi (oleh atasannya) dalam bekerja secara teknis mengurusi kawasan dan korban bencana alam. Oleh karena itu, para bawahan tersebut meminta pada masyarakat untuk bertindak seolah-olah mereka baik-baik saja, seolah-olah mereka tidak dalam kondisi sebagai korban bencana alam. Permintaan tersebut ditanggapi oleh masyarakat, mereka menjalankan permintaan (instruksi) tersebut. Ditambah lagi dengan alasan masyarakat senang untuk menyenangkan tamu, apalagi tamu besar. Gayung bersambut. Bawahan presiden mengatur, korban bencana menjalankan, sehingga terciptalah kondisi palsu. Dan hal tersebut sudah lumrah terjadi, meskipun memancing emosi orang yang peka. Kepalsuan.
Seandainya berbagai pihak dapat berpikir logis, tidak menyertakan pemikiran untuk menyenangkan tamu atau agar tidak ditegur oleh atasan, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Bila mereka berpikir logis, mereka akan membiarkan kondisi tersebut layaknya daerah yang dihuni oleh orang-orang yang terkena bencana alam. Mereka akan mengijinkan presiden untuk melihat hal nyata yang sebenarnya terjadi, bukan hal yang ditambah atau dikurangi. Tapi pengandaian itu tidak terjadi.
Sebenarnya ini benar-benar kesempatan bagi masyarakat untuk benar-benar menunjukkan bahwa daerah tersebut tidak baik-baik saja. Setidaknya dengan hal yang tidak ditutupi presiden diharapkan akan mampu membuat suatu tindakan cepat. Setidaknya dengan hal ini masyarakat dapat menginspirasi presiden untuk selalu terjun ke lapangan dalam membuat berbagai kebijakan sehingga beliau akan melihat secara langsung kondisi nyata dan tidak hanya sebatas membaca data.
Namun, pentingnya menunjukkan kondisi nyata belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat dan para bawahan presiden yang takut ditegur (pengecut). Mereka memilih untuk menyenangkan diri presiden daripada mengamankan diri mereka sendiri, entah itu terpaksa atau tidak. Saya pribadi sangat menyesalkan adanya kepalsuan, terlebih kepalsuan tersebut terjadi di tengah bencana alam yang melanda. Saya membayangkan bagaimana reaksi presiden ketika melihat perbedaan antara menengok daerah secara langsung dengan berita yang dibaca di koran dan menghiasi layar televisinya. Sungguh informasi yang sangat berbeda. Perilaku masyarakat untuk mematuhi tradisi menyenangkan tamu tentu sulit diubah. Begitu pula dengan para bawahan yang tidak ingin ditegur oleh sang presiden. Lalu, sampai kapan bangsa ini akan larut dalam kepalsuan?
Itulah inti berita yang saya baca di media masa. Membaca berita tersebut entah mengapa ada perasaan janggal pada diri saya, dan berpikir pihak mana yang sebenarnya bodoh. Apakah pihak masyarakat yang sangat terobsesi untuk menyenangkan tamu atau pihak kepresidenan yang memaksa masyarakat untuk bertindak baik (seolah-olah tidak ada apa-apa) sekalipun saat kondisi bumi sedang genting. Berita tersebut tentu sangat menarik bagi saya.
Saya yakin, hal tersebut bukan pertama kali yang dilakukan oleh masyarakat (korban bencana) saat akan dikunjungi oleh presiden. Sebelumnya, presiden juga pernah mengunjungi suatu daerah di Sulawesi. Presiden akan turun langsung untuk melihat kondisi masyarakat di sana, di daerah perkampungan kumuh yang tentu banyak aktivitas rumah tangga. Perkampungan kumuh yang mana kampung tersebut sebenarnya terlalu sempit untuk menampung jumlah manusia. Banyak jemuran warga bergelantungan di depan rumah dan barang tersebut harus disingkirkan karena presiden hendak datang. Sehingga presiden akan melihat bahwa kampung tersebut sangat indah, tertata, dan orang-orang di dalamnya pun makmur.
Pertanyaan pun muncul dalam benak saya. Sebenarnya, siapa yang mengatur ini semua? Apakah kepala kelompok masyarakat atau bawahan presiden? Atau keduanya? Hati dan pikiran saya lebih cenderung pada pilihan jawaban yang terakhir. Keduanya. Bawahan presiden tentu tidak ingin dimarahi (oleh atasannya) dalam bekerja secara teknis mengurusi kawasan dan korban bencana alam. Oleh karena itu, para bawahan tersebut meminta pada masyarakat untuk bertindak seolah-olah mereka baik-baik saja, seolah-olah mereka tidak dalam kondisi sebagai korban bencana alam. Permintaan tersebut ditanggapi oleh masyarakat, mereka menjalankan permintaan (instruksi) tersebut. Ditambah lagi dengan alasan masyarakat senang untuk menyenangkan tamu, apalagi tamu besar. Gayung bersambut. Bawahan presiden mengatur, korban bencana menjalankan, sehingga terciptalah kondisi palsu. Dan hal tersebut sudah lumrah terjadi, meskipun memancing emosi orang yang peka. Kepalsuan.
Seandainya berbagai pihak dapat berpikir logis, tidak menyertakan pemikiran untuk menyenangkan tamu atau agar tidak ditegur oleh atasan, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Bila mereka berpikir logis, mereka akan membiarkan kondisi tersebut layaknya daerah yang dihuni oleh orang-orang yang terkena bencana alam. Mereka akan mengijinkan presiden untuk melihat hal nyata yang sebenarnya terjadi, bukan hal yang ditambah atau dikurangi. Tapi pengandaian itu tidak terjadi.
Sebenarnya ini benar-benar kesempatan bagi masyarakat untuk benar-benar menunjukkan bahwa daerah tersebut tidak baik-baik saja. Setidaknya dengan hal yang tidak ditutupi presiden diharapkan akan mampu membuat suatu tindakan cepat. Setidaknya dengan hal ini masyarakat dapat menginspirasi presiden untuk selalu terjun ke lapangan dalam membuat berbagai kebijakan sehingga beliau akan melihat secara langsung kondisi nyata dan tidak hanya sebatas membaca data.
Namun, pentingnya menunjukkan kondisi nyata belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat dan para bawahan presiden yang takut ditegur (pengecut). Mereka memilih untuk menyenangkan diri presiden daripada mengamankan diri mereka sendiri, entah itu terpaksa atau tidak. Saya pribadi sangat menyesalkan adanya kepalsuan, terlebih kepalsuan tersebut terjadi di tengah bencana alam yang melanda. Saya membayangkan bagaimana reaksi presiden ketika melihat perbedaan antara menengok daerah secara langsung dengan berita yang dibaca di koran dan menghiasi layar televisinya. Sungguh informasi yang sangat berbeda. Perilaku masyarakat untuk mematuhi tradisi menyenangkan tamu tentu sulit diubah. Begitu pula dengan para bawahan yang tidak ingin ditegur oleh sang presiden. Lalu, sampai kapan bangsa ini akan larut dalam kepalsuan?
“Lebay” dalam Pendidikan Indonesia
ditulis: 16 Juni 2010
Orang bisa bertanya-tanya pada judul yang saya angkat di atas. Memangnya dari pendidikan Indonesia apa yang berlebihan? Namun pertanyaan ini akan segera terjawab ketika orang sudah melihat bagaimana cara pelajar Indonesia menuntut ilmu. Dengan memperhatikan secara rinci, maka orang akan berpikir bahwa pendidikan Indonesia benar-benar dapat menyebabkan pertumbuhan psikis yang tidak sempurna. Saya memang bukan pakar pendidikan yang tahu sistem pendidikan yang pas untuk negara ini. Meskipun demikian, selama ini saya bersekolah di Indonesia sehingga saya tahu bagaimana rasanya menempuh pendidikan di negri ini. Bukan hanya kekurangan yang terasa, namun juga kelebihan yang sangat berlabihan, yang justru membuat siswa tidak nyaman.
Pertama. Saya cukup tercengan ketika melihat anak-anak sekolahan sudah mulai memadati jalanan Kota Jakarta pada pukul 05.30 WIB. Bukan karena letak sekolah mereka yang jauh sehingga mereka harus berangkat lebih awal ke sekolah, melainkan karena jadwal sekolah yang dimajukan oleh Pemda menjadi pukul 06.30 ke rumah pada pukul 15.00. Sementara itu mereka baru bisa pulang Pemda sebagai pihak yang mengatur hal ini mengatakan agar kualitas SDM meningkat akibat banyaknya waktu yang dialokasikan untuk menuntut ilmu. Secara logika, peningkatan alokasi waktu untuk belajar memang berpotensi untuk meningkatkan kualitas SDM. Namun, bila terlalu banyak waktu yang disediakan untuk memaksa siswa belajar bukankah waktu tersebut akan menjadi bias? Dalam arti waktu yang dialokasikan akan sia-sia karena sesungguhnya kemampuan otak siswa untuk menangkap pelajaran sudah tidak maksimal. Dengan begitu maka tentunya akan terjadi inefisiensi karena otak sudah tidak mampu, namun masih dipaksakan. Seharusnya sebagian dari waktu tersebut dapat digunakan untuk mengasah kemampuan non-akademis, tetapi yang terjadi sebaliknya. Waktu untuk mengasah kemampuan non-akademis pun berkurang, sementara itu kecerdasan intelektual tidak maksimal.
Kedua. Hal yang paling saya ingat ketika saya duduk di bangku sekolah adalah banyaknya pelajaran yang harus saya pahami, dan hal tersebut malah membuat pikiran kacau balau. Terlebih lagi yang menjengkelkan adalah bahwa tidak semua pelajaran akan kita terapkan di masa yang akan datang dan biasanya pemahaman mengenai pelajaran hanya pada saat beberapa hari sebelum ujian, saat ujian dan beberapa hari setelah ujian. Pemahaman hanya untuk kepentingan nilai, bukan untuk kehausan akan sebuah ilmu pengetahuan. Hal ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang siswa menuntut ilmu hanya karena nilai yang mungkin akan dapat membuat CV nya bagus saat melamar kerja daripada karena kepentingan akan kehausan ilmu pengetahuan? Berdasarkan pengalaman saya di bangku sekolah, hal tersebut terjadi karena banyaknya pelajaran yang disuguhkan oleh sekolah. Siswa tidak bisa fokus pada beberapa pelajaran saja sehingga cenderung untuk hanya mengejar nilai bagus. Banyaknya pelajaran di sekolah membuat siswa bingung pelajaran apa yang harus dipelajari lebih dulu, terlebih tidak setiap siswa menyenangi seluruh mata pelajaran yang harus ditempuh. Maka hasilnya adalah “asalkan nilai bagus”, maka pemahaman pun akan menjadi hal yang dinomorduakan. Pertanyaannya, apakah negri ini terobsesi untuk menciptakan generasi penerus yang multitasking?
Ketiga. Adanya tuntutan yang dari pihak sekolah atau pemerintah yang mengharuskan siswa untuk mendapatkan nilai minimal sama dengan batas ketuntasan. Batas ketuntasan yang saya alami saat duduk di bangku sekolah berkisar antara 6 hingga 7. Berarti, bila di bawah kisaran tersebut siswa harus melakukan remidi, atau ujian ulang. Semua siswa tentu tidak menginginkan untuk melakukan ujian ulang, karena berarti mereka harus belajar lagi untuk menghadapi berbagai soal yang akan muncul. Maka dapat berpotensi membuat siswa berkata “asalkan nilai bagus”, sehingga pemahaman pun tidak diperhatikan. Bukankah ini berarti bahwa standar nilai tersebut terlalu tinggi? Bukankah ini juga berarti bahwa sekolah dan pemerintah terlalu berlebihan untuk berharap pada siswa mengenai prestasi siswa? Meskipun begitu, banyak orang berpikir bahwa hal kedua dan ketiga yang saya sampaikan adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Yakinkah mereka?
Ketika saya mengeluhkan hal ini pada beberapa guru, mereka malah berkata bahwa nilai bagus adalah indikasi bahwa siswa memahami pelajaran, sehingga perkara mengenai banyaknya jumlah pelajaran di sekolah bukanlah menjadi suatu hal yang harus dipikirkan lebih dalam. Itulah jawaban guru yang diberikan untuk muridnya. Suatu jawaban yang tidak dapat saya terima, sebenarnya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena nilai baik belum tentu hasil kerja keras dari setiap siswa itu sendiri. Bukan berarti saya berburuk sangka pada siswa Indonesia, tapi memang itulah yang saya perhatikan saat saya ada di ruang ujian. Semoga dugaan saya salah mengenai ketidajujuran yang saya sampaikan barusan. Namun, ketika saya menceritakan hal ini pada teman-teman di luar kota mereka menjawab bahwa hal tersebut juga terjadi di daerah mereka.
Bila hal yang tidak sesuai dengan moral pendidikan yang diajarkan, apakah terdapat ketidaktepatan dalam pendidikan negri ini? Menurut hemat saya, memang terjadi ketidaktepatan dalam kebijakan yang ada. Ketidaktepatan yang justru membuat psikis siswa tertekan sehingga siswa cenderung untuk bertindak tidak sesuai dengan perilaku siswa seharusnya. Saya mengatakan hal-hal seperti jam masuk sekolah, jumlah mata pelajaran dan standar nilai justru merupakan suatu kebijakan berlebihan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah maupun pemerintah. Bisa jadi kebijakan yang berlebihan ini pula lah yang memaksa siswa untuk memiliki pola pikir dan tindakan “asalkan nilai bagus”.
Mungkin pemerintah tidak akan memandang kebijakan tersebut berlebihan. Namun, sebagai seorang yang pernah menjadi siswa, saya merasakan beban sekolah yang sangat berat hingga terkadang yang dikejar bukanlah pengetahuan, melainkan nilai semata. Lebih baik jam sekolah dibuat seperti biasa, pukul 7 pagi. Jumlah mata pelajaran dibatasi hanya pada minat siswa sesuai dengan persetujuan guru pendamping (karena dengan fokus pada suatu hal tertentu diperlukan untuk hasil yang maksimal). Selain itu, standar nilai tidak dipatok terlalu tinggi untuk menghindari praktik kecurangan karena “kepepet”.
Dengan solusi yang saya tawarkan, saya justru bertanya-tanya apakah mungkin pemerintah bertindak demikian? Kalau dilihat, bangsa ini benar-benar terobsesi dengan kehadiran generasi muda yang hamper sempurna, yang dapat menjadi generasi multasking. Meskipun begitu kita harus sadar bahwa pola pendidikan yang ada saat ini, kebijakan berlebihan yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM justru meningkatkan rasa stress dan tekanan psikis. Mungkin pemerintah dan sekolah tidak percaya opini saya barusan. Namun, ada baiknya bila mereka terjun ke lapangan sesering mungkin dan mengajak para siswa berdialog mengenai pendidikan yang mereka hadapi, daripada meneruskan kebijakan yang berlebihan tersebut. Saya pikir perasaan mereka tidak berbeda jauh dengan saat saya menjadi siswa dulu.
Orang bisa bertanya-tanya pada judul yang saya angkat di atas. Memangnya dari pendidikan Indonesia apa yang berlebihan? Namun pertanyaan ini akan segera terjawab ketika orang sudah melihat bagaimana cara pelajar Indonesia menuntut ilmu. Dengan memperhatikan secara rinci, maka orang akan berpikir bahwa pendidikan Indonesia benar-benar dapat menyebabkan pertumbuhan psikis yang tidak sempurna. Saya memang bukan pakar pendidikan yang tahu sistem pendidikan yang pas untuk negara ini. Meskipun demikian, selama ini saya bersekolah di Indonesia sehingga saya tahu bagaimana rasanya menempuh pendidikan di negri ini. Bukan hanya kekurangan yang terasa, namun juga kelebihan yang sangat berlabihan, yang justru membuat siswa tidak nyaman.
Pertama. Saya cukup tercengan ketika melihat anak-anak sekolahan sudah mulai memadati jalanan Kota Jakarta pada pukul 05.30 WIB. Bukan karena letak sekolah mereka yang jauh sehingga mereka harus berangkat lebih awal ke sekolah, melainkan karena jadwal sekolah yang dimajukan oleh Pemda menjadi pukul 06.30 ke rumah pada pukul 15.00. Sementara itu mereka baru bisa pulang Pemda sebagai pihak yang mengatur hal ini mengatakan agar kualitas SDM meningkat akibat banyaknya waktu yang dialokasikan untuk menuntut ilmu. Secara logika, peningkatan alokasi waktu untuk belajar memang berpotensi untuk meningkatkan kualitas SDM. Namun, bila terlalu banyak waktu yang disediakan untuk memaksa siswa belajar bukankah waktu tersebut akan menjadi bias? Dalam arti waktu yang dialokasikan akan sia-sia karena sesungguhnya kemampuan otak siswa untuk menangkap pelajaran sudah tidak maksimal. Dengan begitu maka tentunya akan terjadi inefisiensi karena otak sudah tidak mampu, namun masih dipaksakan. Seharusnya sebagian dari waktu tersebut dapat digunakan untuk mengasah kemampuan non-akademis, tetapi yang terjadi sebaliknya. Waktu untuk mengasah kemampuan non-akademis pun berkurang, sementara itu kecerdasan intelektual tidak maksimal.
Kedua. Hal yang paling saya ingat ketika saya duduk di bangku sekolah adalah banyaknya pelajaran yang harus saya pahami, dan hal tersebut malah membuat pikiran kacau balau. Terlebih lagi yang menjengkelkan adalah bahwa tidak semua pelajaran akan kita terapkan di masa yang akan datang dan biasanya pemahaman mengenai pelajaran hanya pada saat beberapa hari sebelum ujian, saat ujian dan beberapa hari setelah ujian. Pemahaman hanya untuk kepentingan nilai, bukan untuk kehausan akan sebuah ilmu pengetahuan. Hal ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang siswa menuntut ilmu hanya karena nilai yang mungkin akan dapat membuat CV nya bagus saat melamar kerja daripada karena kepentingan akan kehausan ilmu pengetahuan? Berdasarkan pengalaman saya di bangku sekolah, hal tersebut terjadi karena banyaknya pelajaran yang disuguhkan oleh sekolah. Siswa tidak bisa fokus pada beberapa pelajaran saja sehingga cenderung untuk hanya mengejar nilai bagus. Banyaknya pelajaran di sekolah membuat siswa bingung pelajaran apa yang harus dipelajari lebih dulu, terlebih tidak setiap siswa menyenangi seluruh mata pelajaran yang harus ditempuh. Maka hasilnya adalah “asalkan nilai bagus”, maka pemahaman pun akan menjadi hal yang dinomorduakan. Pertanyaannya, apakah negri ini terobsesi untuk menciptakan generasi penerus yang multitasking?
Ketiga. Adanya tuntutan yang dari pihak sekolah atau pemerintah yang mengharuskan siswa untuk mendapatkan nilai minimal sama dengan batas ketuntasan. Batas ketuntasan yang saya alami saat duduk di bangku sekolah berkisar antara 6 hingga 7. Berarti, bila di bawah kisaran tersebut siswa harus melakukan remidi, atau ujian ulang. Semua siswa tentu tidak menginginkan untuk melakukan ujian ulang, karena berarti mereka harus belajar lagi untuk menghadapi berbagai soal yang akan muncul. Maka dapat berpotensi membuat siswa berkata “asalkan nilai bagus”, sehingga pemahaman pun tidak diperhatikan. Bukankah ini berarti bahwa standar nilai tersebut terlalu tinggi? Bukankah ini juga berarti bahwa sekolah dan pemerintah terlalu berlebihan untuk berharap pada siswa mengenai prestasi siswa? Meskipun begitu, banyak orang berpikir bahwa hal kedua dan ketiga yang saya sampaikan adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Yakinkah mereka?
Ketika saya mengeluhkan hal ini pada beberapa guru, mereka malah berkata bahwa nilai bagus adalah indikasi bahwa siswa memahami pelajaran, sehingga perkara mengenai banyaknya jumlah pelajaran di sekolah bukanlah menjadi suatu hal yang harus dipikirkan lebih dalam. Itulah jawaban guru yang diberikan untuk muridnya. Suatu jawaban yang tidak dapat saya terima, sebenarnya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena nilai baik belum tentu hasil kerja keras dari setiap siswa itu sendiri. Bukan berarti saya berburuk sangka pada siswa Indonesia, tapi memang itulah yang saya perhatikan saat saya ada di ruang ujian. Semoga dugaan saya salah mengenai ketidajujuran yang saya sampaikan barusan. Namun, ketika saya menceritakan hal ini pada teman-teman di luar kota mereka menjawab bahwa hal tersebut juga terjadi di daerah mereka.
Bila hal yang tidak sesuai dengan moral pendidikan yang diajarkan, apakah terdapat ketidaktepatan dalam pendidikan negri ini? Menurut hemat saya, memang terjadi ketidaktepatan dalam kebijakan yang ada. Ketidaktepatan yang justru membuat psikis siswa tertekan sehingga siswa cenderung untuk bertindak tidak sesuai dengan perilaku siswa seharusnya. Saya mengatakan hal-hal seperti jam masuk sekolah, jumlah mata pelajaran dan standar nilai justru merupakan suatu kebijakan berlebihan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah maupun pemerintah. Bisa jadi kebijakan yang berlebihan ini pula lah yang memaksa siswa untuk memiliki pola pikir dan tindakan “asalkan nilai bagus”.
Mungkin pemerintah tidak akan memandang kebijakan tersebut berlebihan. Namun, sebagai seorang yang pernah menjadi siswa, saya merasakan beban sekolah yang sangat berat hingga terkadang yang dikejar bukanlah pengetahuan, melainkan nilai semata. Lebih baik jam sekolah dibuat seperti biasa, pukul 7 pagi. Jumlah mata pelajaran dibatasi hanya pada minat siswa sesuai dengan persetujuan guru pendamping (karena dengan fokus pada suatu hal tertentu diperlukan untuk hasil yang maksimal). Selain itu, standar nilai tidak dipatok terlalu tinggi untuk menghindari praktik kecurangan karena “kepepet”.
Dengan solusi yang saya tawarkan, saya justru bertanya-tanya apakah mungkin pemerintah bertindak demikian? Kalau dilihat, bangsa ini benar-benar terobsesi dengan kehadiran generasi muda yang hamper sempurna, yang dapat menjadi generasi multasking. Meskipun begitu kita harus sadar bahwa pola pendidikan yang ada saat ini, kebijakan berlebihan yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM justru meningkatkan rasa stress dan tekanan psikis. Mungkin pemerintah dan sekolah tidak percaya opini saya barusan. Namun, ada baiknya bila mereka terjun ke lapangan sesering mungkin dan mengajak para siswa berdialog mengenai pendidikan yang mereka hadapi, daripada meneruskan kebijakan yang berlebihan tersebut. Saya pikir perasaan mereka tidak berbeda jauh dengan saat saya menjadi siswa dulu.
Subscribe to:
Posts (Atom)